Kamis, 22 April 2010




KATA SAMBUTAN
DEWAN PEDULI PENINGGALAN SEJARAH RIAU

bissmillahirrahmanirrahim,

Al-hamdu li’llahi’ladzi la ilaha illa huwa, wa kana fi’l-azali wa la shay’a ma’ahu. Segala puji-pujian bagi Allah tuhan yang tiada tuhan selain ia, dan adalah ia pada azal, tiada seseatupun jua sertanya.
Dengan izin Allah kani susun buku ini, dengan niat yang tulus dan iklas serta kekuatan iman kiranya tak terganggu syaitan, sehingga, kekesatan masa lalu tak pernah terulang lagi, kami sifatrnya hanya ingin menegaskan bahwa pengerjaan baik pulih budaya dan sejarah melayu bukanlah hal yang susah atau sengaje disusah-susahkan, tetapi bukan pula kami hendak menyenang-nyenangkan, selama kita masih bersama mau berfikir sama-sama tidak ada yang tidak bisa, selama ini pihak-pihak terkait banyak tidak mau berunding dengan masyarakat, berfikir bersama, mencari mufakat membuat kegiatan bersama untuk kemajuan bersama. Seperti Layaknya Lembaga-lembaga adat yang Merupakan adat daerah kebanggaan kita ini Maju Kehadapan menjadi teraju atau menjadi Pemimpin Kepada Para saudara-saudara Kita sesame Melayu Kantor KESBANGPOL LINPENMAS KOTA TANJUNGPINANG adalah Badan yang menurut kami sangat baik Pelayanan Publiknya, karena dengan memberdayakan Masyarakat sebagai Mitra Pemerintah program-program memajukan daerah tercinta, menuju Kemakmuran Umat manusia.
Sebagai Lembaga yang telah memfokuskan diri untuk pengembangan Situs Cagar Budaya dan segala bentuk Warisan sejarah Melayu di Hulu Riau, kami telah bertekat untuk berbuat semaksimal mungkin demi Kelestarian Budaya dan Peninggalan sejarahnya.
Kami juga menyampaikan Penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Wali Kota Tanjungpinang dan Bapak Juramadi Esram, yang telah berkenan Atas nama Pemerintah Kota Tajungpinang, membantu Mensukseskan beberapa Program Kegiatan kami selama ini, atas kesempatan ini kami mengharapkan agar kirannya Disbudpar kota Tg.pinang Dapat lebih giat lagi dalam bekerja, demi kemajuan daerah kita tercinta karma kami anggap hanya pandai bicara. Wass

Tanjungpinang, 1 oktober 2009
Pengurus

,

KATA PENGANTAR SANG SEJARAWAN RIAU MASA DEPAN

NURI C SHIDDIQ, Lahir di Tanjung Unggat Pada Tanggal 09 April 1984 di Tanjung Unggat Kota Tanjungpinang-Kepulauan Riau. keinginannya yang begitu besar mengangkat Hulu Riau sebagai salah satu kawsan terpenting kemaharajaan melayu pada Abad 18 s/d 19, membawanya fokus untuk meneliti tentang tempat yang disebut Hulu Riau ini.

Sekilas Bahasa
Hulu Riau yang kita ketahui adalah sebagai Asal Muasal Negeri Riau Terbina, merupakan Pusaka Masa Silam yang seakan tak dihargai lagi, disaat sultan tak berada dimata dan hati sedangkan kerabat Raje-raje banyak tak peduli, disaat era Modrenisasi menghiasi tanah melayu ini, hingga Menghantui Orang Asli seperti terasuk Setan Modrenisasi, banyak orang kita Lupa dan bahkan tidak mengetahui tentang hal ini. Saat Budaya melayu Menjadi Objeck Proyek orang-orang tertentu, apakah kita tau bahwa pusaka disebelah Hulu itu semakin mendebu, disaat Bouksit dikeruk orang-orang yang tak punya hati, disaat Pemerintah Tutup mata, Siapa lagi yang mau peduli?.
Hulu Riau pernah dijadikan Pusat Pemerintahan Johor dan Pahang dimalaysia, Singapura, dan Riau di Indonesia. Sebelum Nama Riau di Pikul ke Pekanbaru oleh Badang-badang dari seberang. Hulu Riau lah, yang menjadi Tujuan disaat nama Riau terucapkan.
Penghargaan tak sanggup kita berikan, uang jelas tak ada artinya, jadi apa yang mesti kita lakukan? Sampaikan, sampaikan kepada dunia, bahwa Riau ada dihulu sana, Bukan Pekanbaru atau tak satupun tanah di Sumatra sana yang berhak menggunakan Nama Riau, karma Riau ada disini. Kembalikan Riau, kembalikan kepada Hakekatnya, sebuah tempat yang mengundang Orang datang kemari, tempat dimana banyak harapan baru bagi orang yang datang mengunjunginya.
Sebagai sarana termudah dengan menyusun lembaran-lembaran kertas ini sehingga layak untuk dibaca,agar kita dapat sedikit memahami mengenai sebuah Latar Belakang, saat kita ingin maju kehadapan, kita harus mengetahui latar belakang. Untuk siapa ? untuk Negeri ini demi budaya kita yang telah dirobek-robek oleh orang sendiri yang beralasan merevitalisasi. Dengan mengucap nama allah Swt, saya mohon Ampun dan Maaf jika terjadi kesalahan dalam penulisan didalam buku ini, saya juga sangat mengharapkan Bantuan masyarakat semua untuk saling bahu-membahu mengembangkan lagi Potensi Sejarah, Budaya dan Pariwisata di Kepulauan Riau ini, sebagai bentuk penghargaan kepada Orang-orang yang sebelum kita, yang berjuang tanpa pamrih, di Teluk Riau, Tanjung Sepadam, Teluk Ketapang, Pulau Bulang, Mepar, bukit cening, Lingga dan berbagai daerah lagi di Riau ini yang dulunya pernah menjadi Medan Perang untuk mempertahankan daerah ini dari cengkraman Penjajah. Mereka adalah Syuhada Tanah Melayu. Mari kita sumbangkan alfatehah untuk mereka,

Tanjung Unggat, 17 Juli 2009





Nuri C Shiddiq






















CERITA BAGIAN SATU


Sejarah asal Kata Riau

Secara etimologis kata “Riau” berasal dari kata “Rio” (Bahasa Portugis) yang berarti “sungai”. Misalnya Rio de Janairo artinya Sungai Januari. Di pulau Bintan ada sebuah sungai yang bernama Rio, yaitu sungai Rio. Dari kata Rio ini berubah menjadi Riau. Orang Belanda menulis kata Riau ini dengan “Riouw” dan sekarang dikenal tulisan Riouw dengan perkataan Riau saja.
Ucapan sehari-hari dalam masyarakat Siak dikenal kata “meriau” yang artinya musim ikan bermain-main., di Kuantan meriau dimaksudkan suatu cara mengumpulkan ikan pada suatu tempat untuk mudah ditangkap dalam jumlah besar. Dari meriau ini berubah menjadi kata Riau Disamping itu dalam masyarakat Riau Kepulauan, dikenal pula kata “Rioh”. Kata Rioh berarti suara yang ramai di pusat kerajaan Melayu Riau.
Pusat kerajaan itu terletak di sebelah hulu sungai Carang yang ramai suaranya karena kesibukan perdagangan yang keluar masuk pusat kota. Pusat perdagangan itu dikenal dengan nama “Bandar Rioh” yang didirikan oleh Sultan Ibrahim Syah (1671-1682) dalam Kemaharajaan Melayu. Bila dihubungkan pengertian Rio yang artinya sungai dengan kata Rioh yang artinya suara yang ramai, terdapat suatu pengertian yang hampir sama. Sungai Riau ini terletak pada arus lalu lintas perdagangan internasional di Selat Malaka. Dalam perkembangan selanjutnya kata Riau dipergunakan untuk menamakan pulau-pulau yang terletak di sebelah tenggara Semenanjung Malaya. Kesatuan pulau-pulau itu terkenal dengan istilah “Pulau Segantang Lada”.



Kerajaan Riau-johor-Pahang Dan Lingga

Imperium Melayu Riau adalah penyambung warisan Sriwijaya. Kedatangan Sriwijaya yang mula-mula sejak tahun 517 s/d 683 dibawah kekuasaan Melayu, dengan meliputi daerah Sumatera tengah dan selatan. Sriwijaya-Sailendra bermula dari penghabisan abad ke 7 dan berakhir pada penghujung abad ke 12.
Kemaharajaan Melayu yang dimulai dari Kerajaan Bintan-Tumasik abad 12-13 M dan kemudian memasuki periode Melayu Riau yaitu :
- Zaman Melaka abad 14-15 m,
- Zaman Johor-Kampar abad 16-17 m,
- Zaman Riau-Lingga abad 18-19 m
Paramesywara atau Iskandar Syah dikenal dengan gelar Sri Tri Buana, Maharaja Tiga Dunia (Bhuwana, Kw, Skt berarti dunia), seorang pangeran, keturunan raja besar dari Singosari/Majapahit.
Ia sangat berpandangan luas, cerdik cendikia, mempunyai gagasan untuk menyatukan nusantara dan akhirnya beliaulah pula yang membukakan jalan bagi perkembangan Islam di seluruh nusantara.
Paramesywara adalah keturunan raja-raja singosari. Menurut M.Said (dalam bukunya Zelfbestuur Landchappen) Raja Suran adalah keturunan Sultan Iskandar Zulkarnain di Hindustan yang melawat ke Melaka, beranak tiga orang laki-laki. Diantara putranya adalah Sang Sa Purba, kawin dengan Ratu Riau. Dari puteranya menjadi turunan Raja Riau. Sang Sa Purba sendiri pergi ke Bukit Siguntang Mahameru (Palembang) menjadi Raja dan kawin disana. Ia melawat ke Minangkabau dan menjadi Raja Pagarruyung. Memencar keturunannya menjadi Raja-Raja Aceh dan Siak Sri Indrapura.
Menurut Sejarah Melayu, tiga bersaudara dari Bukit Siguntang menjadi raja di Minangkabau, Tanjung Pura (Kalimantan Barat) dan yang ketiga memerintah di Palembang. Yang menjadi Raja di Palembang adalah Sang Nila Utama. Sang Nila Utama inilah yang menjadi Raja di Bintan dan Kemudian Singapura.
Dalam hikayat Hang Tuah yang terkenal, ada disebutkan, raja di “Keindraan” bernama Sang Pertala Dewa. Adapula tersebut seorang raja. Istri baginda hamil dan beranak seorang perempuan yang diberi nama Puteri Kemala Ratna Pelinggam. Setelah dewasa diasingkan ke sebuah pulau bernama : Biram Dewa. Sang Pertala Dewa berburu di pulau Biram Dewa tersebut. Akhirnya kawin dengan Putri Kemala Ratna Pelinggam. Lalu lahir anaknya yang dinamai Sang Purba. Setelah itu mereka naik “keindraan”. Kemudian turun ke Bukit Siguntang Mahameru. Sang purba dirajakan di Bukit Siguntang. Sang Purba kawin dengan puteri lahir seorang putra dinamai Sang Maniaka dan kemudian lahir pula putera yang kedua Sang Jaya Mantaka, yang ketiga Sang Saniaka dan yang keempat Sang Satiaka. Sang Maniaka dirajakan di Bintan dan Singapura.
Agak berbeda dengan yang tertera dalam Salatussalatin Karya tun Sri Lanang, yang mengisahkan tentang ketiga Anak cucu Raja Suran yang turun dari keindraan ke Bukit Siguntang, dalam Salatussalatin ketiga orang itu adalah Raja aftabul ard Nila Pahlawan, dan yang tengah dinamai Kerisyna Pandita, dan yang bungsu dinamai Nila Utama, atau yang kita kenal dengan sebutan Sang Nila Utama ( Sri Tri Buana )

1. Zaman Bintan – Tumasik
Dalam catatan sejarah, Kerajaan Bintan dimulai dari Raja Asyar-Aya (1100-1150 m) dan Ratu Iskandarsyah (1150-1158M). Ratu kemudian digantikan oleh menantunya Sang Nila Utama, yang mendirikan Kerajaan Singapura dan memindahkan Kerajaan dari Bintan ke Singapura. Menurut para ahli sejarah, Sang Nila Utama dari Bintan menemukan Singapura pada tahun 1294 M. kemudian diberi gelar Tri Buana dan mengubah nama Tumasik menjadi Singapura.

2. Zaman Melaka
Raja-raja Melayu diMelaka berasal dari singapura (tumasik) menurut sejarah Melayu karangan Tun Seri Lanang (1612 M), Raja Melayu yang terakhir diSingapura (Tumasik) adalah Raja Iskandar Syah yang membuka negeri Melaka.
Dalam buku-buku sejarah karangan pelawat-pelawat Cina nama Raja Melayu Melaka yang pertama itu ialah Pa-Li-Su-La dan Pai-li-mi-sul-la (yang dimaksud adalah Paramesywara), begitu juga dari sumber Portugis yang menyebutkan Paramesywara dengan sebutan Paramicura dan Permicuri berasal dari keturunan Raja Singosari. Ahli sejarah mengambil kesimpulan bahwa raja Melayu Melaka (Raja Singapura yang terakhir) adalah Permaisura (sebelum memeluk agama Islam) kemudian raja itu menjadi Raja Melaka dengan memakai gelar Megat Iskandar Syah (1394-1414 M). Keturunan raja ini yang memerintah di Melaka ialah :
- Megat Iskandar Syah (1414-1424 M)
- Sultan Muhammad Syah (1424-1444 M)
- Sultan Abu Syahid (1445-1446 M)
- Sultan Muazaffar Syah (1446-1456 M)
- Sultan Mansyur Syah (1456-1477 M)
- Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1488 M)
- Sultan Mahmud Syah I (1488-1511 M)
Selama abad 15 sampai permulaan abad ke 16 diantara Kerajaan-Kerajaan Melayu yang ada, hanya Kerajaan Melaka yang mencapai puncak kejayaan. Sebuah laporan Portugis pada permulaan abad ke 16 telah menggambarkan Kerajaan Melaka. Pada masa itu dinyatakan bahwa kota Melaka adalah Bandar perdagangan yang terkaya dan mempunyai bahan-bahan perdagangan yang termahal, armada yang terbesar dan lalu lintas yang teramai di dunia.
Melaka menjadi kota perdagangan yang terbesar didatangi pedagang-pedagang dari pulau-pulau nusantara dan dari benua asia lainnya seperti dari India, Arab, Parsi, Cina, Burma (Pegucampa, Kamboja dan lain-lain).
Dalam tahun 1509 mulai pula berdatangan pedagang-pedagang dari Eropa. Melaka sebagai pusat Imperium Melayu dan menjadi Bandar perdagangan yang ramai juga merupakan pusat penyebaran agama Islam ke seluruh nusantara dan Asia Tenggara.
Sultan Melaka Sultan Mansyur Syah Akbar yang memerintah pada tahun 1456-1477 M) telah berhasil mengantarkan Melaka ke puncak kebesaran sejarah Melayu dan beliau dapat mempersatukan Kerajaan-Kerajaan Melayu dalam Imperium Melayu.
Pada masa Sultan Mansyur inilah terkenalnya sembilan pemuda yang gagah berani sebagai hulubalang Kerajaan seperti : Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekiu, Hang Lekir, Hang ali, Hang Iskandar, Hang Hasan, dan Hang Hussin. Diantara kesembilannya Hang Tuah dan Hang Jebatlah yang paling berani dan bijaksana sehingga Sultan mengangkatnya menjadi Laksmana, namun akhirnya Jebat menjadi pendurhaka dan dibunuh Hang Tuah.
Pengganti Sultan Mansyur Syah ialah putranya Sultan Alauddin Riayat Syah (1477-1588 H). Raja ini diracuni oleh Raja Kampar dan Raja Indragiri yang ditawan di Melaka. Sewaktu beliau hendak berangkat ke Melaka. Sultan Alauddin berputrakan Raja Menawar Syah, Raja Kampar dan Raja Muhammad yang kemudian bergelar Sultan Mahmud Syah Raja Melaka.
Laksemana Hang Tuah juga meninggal pada masa Sultan Mahmud Syah I ini. Menurut sejarah Melayu, hang tuah di makamkan di Tanjung Keling Melaka.
Sultan Mahmud beristrikan putri Sultan Pahang. Yang menurunkan tiga orang anak. Yang tertua adalah laki-laki diberi nama Raja Ahmad, yang kedua dan ketiga adalah perempuan. Sultan Mahmud berguru pada Maulana Yusuf, Sultan Munawar Syah - Raja Kampar wafat digantikan oleh anaknya yang bernama Raja Abdullah yang di nobatkan oleh Sultan Mahmud di Melaka dan diambil menjadi menantunya. Setelah dinobatkan di Melaka beliau kembali ke Kampar.
Sebelum pusat Kerajaan Imperium Melayu di pindahkan ke Johor, Sultan Mahmud Syah I telah mendirikan pusat pemerintahan di Kampar yang bernama Pekan Tua terletak ditepi Sungai Kampar. Tempat ini dijadikan sebagai pusat Imperium Melayu dan basis perjuangan terakhir untuk melawan Portugis.
Sultan Mahmud Syah I ini sangat pemberani dalam menghadapi Portugis. Tapi sayang Melaka tetap berhasil di rebut Portugis. Pada tanggal 15 agustus 1511 terjadilah peperangan yang hebat diantara pejuang Melaka dengan angkatan Portugis yang di pimpin oleh Affonso d’albuquerqe. Melaka berhasil dikalahkan.
Sultan dan pengikut-pengikutnya akhirnya melarikan diri ke hulu Sungai Muar, dan membuat Kerajaan Pagoh. Dalam bulan oktober 1511, Raja Abdullah (Sultan Kampar) mengadakan hubungan dengan Affonso d’ Albuquerque dan pergi ke Melaka. Kemudian kembali lagi ke Kampar (Pekan Tua).
Affonso d’ Albuquerque merasa kalau Pagoh dan Bentayan (Kuala Muar) akan menjadi ancaman bagi mereka. Takut akan hal ini, Affonso langsung mengerahkan pasukannya yang terdiri dari 400 orang lascar Portugis, 600 orang Jawa, dan 300 orang Pegu (Burma) untuk menyerang Bentayan dan Pagoh.
Akhirnya Sultan Mahmud Syah I dan pengikutnya meninggalkan Pagoh dan berpindah ke Pahang melalui Lubuk Batu dan Panarikan. Bulan Juli 1512 angkatan perang Sultan Mahmud Syah I di bawah pimpinan Laksmana Hang Nadim menyerang orang-orang Portugis di Melaka.
Januari 1513 Sultan Mahmud Syah I dan para pengikutnya pindah ke Bintan, tepatnya di Kopak. Beliau menetap disini sampai tahun 1519. dari basis ini Sultan Mahmud beberapa kali menyerang Melaka dan mengadakan blockade di Kuala Muar sehingga Melaka kekurangan makanan.
Tahun 1521 Joerge d’ Albuquerque, panglima perang Portugis di Melaka menyerang bintan dengan membawa 18 buah kapal dan 600 orang prajurit.
Tahun 1523 dibawah pimpinan Don Sancho Enriquez, Portugis kembali menyerang Bintan. Namun dibawah komando Hang Nadim, Laskar Kerajaan Bintan mampu memberikan perlawanan yang sengit kepada Portugis. Tidak sedikit tentara Portugis yang mati dalam pertempuran ini dan juga kerugian materi yang tidak sedikit.
Tahun 1526 Portugis menghancurkan bandara Bengkalis, yang kemudian Portugis kembali mengadakan penyerangan kepada Bintan dibawah pimpinan Pedro Maskarenhaas. Kali ini Portugis mendatangkan angkatan perang dari Goa (India) yang terdiri dari 25 buah kapal-kapal besar, 550 orang prajurit Portugis dan 600 orang prajurit Melayu yang telah berhasil mereka bujuk untuk ikut dalam barisan mereka.
Disaat itu pula Sultan Mahmud sudah bisa membaca keadaan bahwa Portugis akan kembali menyerang mereka. Dengan segera Sultan Mahmud langsung mengatur pertahanan yang kokoh di Kota Kara dan Kopak. Pertempuran hebat pun terjadi di Kota Kara, Laskar-laskar Melayu banyak yang berguguran, sedangkan Hang Nadim terluka, keadaan pun semakin tidak seimbang, akhirnya Bintan pun berhasil ditakhlukkan Portugis.
Dalam catatan Sejarah Melayu, Sultan Mahmud Syah I adalah raja kedelapan dan merupakan raja terakhir Kerajaan Melaka (1488-1511). Beliau juga merupakan raja pertama dari Kerajaan Johor yang memerintah dari tahun 1511 sampai dengan tahun 1528.
Beliau adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah dengan Istrinya Saudara Bendahara Pemuka Raja Tun Perak yang bernama Raja Mahmud.
Pada masa Sultan Mahmud Syah I ini, Sultan Munawar, saudara seayahnya yang menjadi Raja di Kampar telah mangkat. Yang digantikan oleh putra Sultan Munawar bernama Raja Abdullah. Setelah Raja Abdullah di nobatkan menjadi Raja Kampar, Sultan Mahmud Syah I langsung mengangkatnya menjadi menantu yang dikawinkan dengan putrinya Putri Mah.

3. Zaman Johor.
Setelah Melaka di kalahkan Portugis, putra Sultan Mahmud Syah I, Sultan Ahmad Syah yang merupakan Raja Bintan di Riau, membuka Negeri Johor. Namun gagal dan ia pun mangkat bermakam dibukit batu Bentan. Akhirnya Sultan Mahmud Syah I wafat pada Tahun 1528 dan di beri gelar kemangkatan dengan gelar Marhum Kampar.
Kedudukannya digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah II. Tapi sayang Sultan Alauddin membuat kesalahan fatal. Dia memindahkan Imperium Melayu dari Pekantua yang terletak di Sungai Kampar Riau Sumatera yang telah terjaga rapi, kuat dan tangguh ke bagian Johor Lama dan di beri nama Pekan Tua juga.
Rancangan ayahandanya yang kokoh dengan maksud supaya tetap menjaga hubungan dalam Imperium Melayu jadi hancur. Pada waktu itu Kampar tidak lagi diurus Raja sendiri, melainkan diserahkan kepengurusannya kepada Adipati Kampar (Selaku Gubernur).
Bahkan dikatakan dari sumber sejarah lain Sultan Alauddin Riayat Syah II ini malah mau berdamai dengan Portugis dan sama-sama menghantam Aceh. Abangnya yang bernama Raja Muda Muzaffar Syah diusirnya atas desakan bendahara. Raja Muda Muzaffar Syah sekeluarga akhirnya pergi membawa nasib hingga ke Siam (Thailand). Kemudian dibawa rakyat di Kelang ke Perak dan dirajakan disana selaku Sultan Perak dan Selangor.
September 1537, Aceh mengadakan penyerangan kepada Melaka yang telah berada di tangan Portugis. Dengan kekuatan 300 orang prajurit, Aceh mendaratkan dan berperang diMelaka selama 3 hari.
Aceh juga menyerang Haru. Sultan Alauddin Riayat Syah II tiba-tiba menyerang armada Aceh (Deli) dalam pada tahun 1540. Ia merebut Haru masuk dalam lingkungan Melayu. Hal ini merupakan dendam Aceh dengan Imperium Melayu sampai abad ke 18. Dan tentu saja hal ini sangat menguntungkan bagi Portugis. Aceh kemudian membalas serangan itu pada tahun 1564 ke Haru, dan berhasil mendudukinya. Armada Aceh terus maju menduduki Johor-Lama dan Sultan Alauddin Riayat Syah II berhasil di tawan dan dibawa ke Aceh.

Setelah itu berturut-turut menjadi raja Johor:
Sultan Nuzaffar Syah (1564-1570)
Sultan Abdul Jalil Syah (1570-1571)
Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (1571-1597)
Sultan Alauddin Riayat Syah III (1597-1615)
Sultan Abdul Muayat Syah (1615-1623)
Sultan Abdul Jalil Syah III (1623-1677)

Pada masa Sultan Muzzafar Syah, lahirlah seorang Pujangga Melayu (1565) putra dari Tun Ahmad Paduka Raja yang terkenal dengan nama Tun Seri Lanang. Tun Sri Lanang merupakan penulis terbanyak tentang sejarah Melayu. Tulisannya menjadi sumber-sumber sejarah Melayu dewasa ini. Beliau pernah tinggal di Aceh sambil menyusun dan menyempurnakan karyanya yang terbesar. Yakni Tentang Sejarah Melayu. Dan berkenaan dengan penulis-penulis dan ulama yang termasyur seperti Syekh Nuruddin ar Raniri, Tun Aceh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dan sebagainya.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Syah III. Johor mengadakan hubungan persahabatan dengan Belanda. Dengan kekuatan yang berserikat, Johor berhasil merebut Melaka dari tangan Portugis pada tanggal 14 januari 1647.
Tahun 1673 Batu Sawar diserang Jambi sehingga Sultan mundur ke Pahang. Dan mangkat pada Tahun 1677. kedudukannya digantikan oleh Sultan Ibrahim Syah yang memerintah dari tahun 1677 sampai dengan tahun 1685.
Pada masa Sultan Ibrahim Syah memerintah, beliau memindahkan pusat Kerajaannya ke Bintan pada tahun 1678 tepatnya di Sungai Carang. Dari sini beliau menyusun kekuatan menyerang Jambi. Negeri itu menjadi “Bandar Riuh” yang selanjutnya dikenal dengan nama RIAU. Masa pemerintahan Sultan Ibrahim Syah berakhir pada tahun 1685 dikarenakan wafat. Bermakam di Riau.
Saat beliau wafat belum ada yang bisa menggantikan kedudukannya sebagai raja. Hal ini disebabkan karena cikal bakal pewaris tahta beliau, yakni putranya yang bernama Raja Mahmud masih kecil. Maka pemerintahan Kerajaan pada waktu itu dipegang oleh Datuk Seri Maharaja atau disebut juga Bendahara Paduka Raja Tun Hebab. Pada masa ini diadakan perjanjian dagang dengan Belanda.
Setelah Raja Mahmud dewasa, barulah Raja Mahmud dinobatkan menjadi Sultan dengan gelar Sultan Mahmud Syah II. Beliau memerintah dari tahun 1677 s/d 1699. Meninggal pada usia 42 tahun setelah di bunuh Laksemana Megat Sri Rama. Sultan Mahmud Syah II meninggal ketika sedang berangkat untuk menunaikan shalat Jum’at. Beliau pergi Shalat Jum’at dengan di julang oleh pengawalnya. Dijulang dalam bahasa Melayu berarti di dudukkan di atas tengkuk. Di tengah perjalanan Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Megat Sri Rama. Tapi menurut keterangan Raja Ali Haji, Laksemana Megat Sri Rama juga mati disebabkan oleh sikinnya Sultan sesuai dengan keterangannya yang tertulis dalam Tuhfatu’n Nafis : “maka adalah ketika baginda itu diatas julang hendak pergi Shalat Jum’at, lalu diparangnya hulu hati baginda hingga mangkat, dan Megat (Sri Rama) itupun mati juga karena dilontar oleh baginda dengan sikinnya” Dengan berita kematian Sultan yang telah sampai keistana membuat Istri Sultan Mahmud Syah II, Encik Pong yang sedang hamil tua diselamatkan oleh Nahkoda Malim, salah satu hulubalangnya yang setia. Encik Pong di larikan kedalam hutan dengan beberapa orang pengawalnya.
Sejak itu putuslah zurriat keturunan Raja-Raja Melaka di Johor. Dan bertukar alih ke tangan Raja-Raja keturunan dari Bendahara.
Setelah Encik Pong melahirkan seorang anak lelaki yang diberi nama Raja Kecil, Encik Pong dibawa keluar Johor dan dibawa ke Jambi. Kemudian dilarikan lagi ke Indragiri, hingga akhirnya sampai ke Pagarruyung. Dipagarruyung Encik Pong dan Raja Kecil mendapatkan Suaka Politik. Bahkan Raja Kecil dianggap sebagai anak angkat istana oleh Kerajaan pagarruyung. Encik Pong pun wafat di pagarruyung. Raja Kecil kemudian betul-betul dididik oleh keluarga Istana Pagaruyyung. Mulai dari ilmu agama, ilmu pemerintahan, ilmu silat dan sebagainya. Raja Kecil tumbuh menjadi remaja. Sampai akhirnya Keluarga Kerajaan Pagarruyung menceritakan tentang asal usul dirinya kepadanya. Setelah mengetahui, maka Raja Kecil ingin menuntut balas atas kejadian yang menimpa keluarganya. Pada saat itu ia telah di bekali dukungan dari Pagarruyung.
Dalam satu Riwayat sejarah Melayu lain dikatakan mengenai Raja Kecil ini. Raja Beraleh (Tun Bujang) seorang anak raja yang datang dari Minangkabau telah menghambakan diri kepada Sultan Lembayung (seorang Raja dari hulu Palembang sebagai pembawa tempat sirih sultan. Kemudian setelah membawa Raja Jambi dalam suatu peperangan, Raja Beraleh kembali ke Minangkabau. Oleh keluarga Raja Pagarruyung, nama Raja Beraleh ditukar menjadi Raja Kecil. Namun cerita ini tidak popelar di Riau.
Pengganti Sultan Mahmud Syah II diangkat Bendahara Paduka sebagai Sultan dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV (1619-1718). Adindanya Tun Mahmud diangkat menjadi Yam Tuan Muda (Raja Muda) sejak itu anak-anaknya dipanggil Tengku. Rakyat berontak. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV pindah ke Riau pada tahun 1709 dan minta bantuan VOC Belanda tahun 1713. Kemudian ia disingkirkan oleh Raja Kecil yang telah diberi gelar Yang Dipertuan Cantik pada tanggal 21 Maret 1717. Ia naik tahta dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1718-1722).

Pengaruh bugis
Orang Bugis yang memainkan peranan penting sewaktu Perang Johor-Jambi mempunyai pengaruh yang kuat di Johor. Selain daripada orang Bugis, orang Minangkabau juga mempunyai pengaruh yang kuat. Orang Bugis dan Minangkabau percaya dengan kematian Sultan Mahmud II, mereka dapat mengembangkan pengaruh mereka di Johor. Di kalangan orang Minangkabau terdapat seorang putera dari Siak iaitu Raja Kecil yang mengaku dirinya sebagai waris tunggal Sultan Mahmud II. Raja Kecil menjanjikan kepada orang Bugis bahawa sekiranya mereka menolongnya menaiki takhta dia akan melantik ketua orang-orang Bugis sebagai Yam Tuan Muda Johor.Pada masa itu orang-orang Bugis telah memberikan alasan untuk pergi ke Selangor bagi mengumpul orang-orangnya sebelum melancarkan serangan. Walau bagaimanapun Raja Kecil telah melancarkan serangan terlebih dahulu setelah terlalu lama menunggu kedatangan orang-orang Bugis. setelah Raja Kecil berjaya menduduki tahta Johor orang-orang Bugis telah datang menuntut janji untuk dilantik sebagai Yam Tuan Muda. Permintaan ini telah tidak diperkenankan oleh Raja Kecil kerana orang-orang Bugis tadi telah tidak memberikan bantuan sebagaimana yang diminta oleh Raja Kecil.
Tidak puas hati dengan perlantikan Raja Kecil, bekas Bendahara Sultan Abdul Jalil yaitu Tun Husein meminta Daeng Parani ketua orang Bugis untuk menolongnya mendapatkan semula takhta. Permintaan ini telah dipersetujui oleh orang-orang Bugis kerana mereka juga kecewa kerana tidak dapat menuntut jawatan Yam Tuan Muda. Pada tahun 1722, Raja Kecil terpaksa meletakkan takhta kerana diserang oleh Bugis yang membantu Tun Husein, Raja Kecik ditangkap di Sungai Riau dan dipaksa untuk menyerahkan Religia Kerajaan Johor. Anak Bendahara Abdul Jalil kemudiannya dilantik menjadi sultan dengan gelaran Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Tetapi Sultan Sulaiman hanyalah seorang sultan tetapi tidak mempunyai kuasa kerana Daeng Merewah, daripada orang Bugis yang memegang kuasa sebagai Yamtuan Muda.

4. Zaman Riau-Lingga
Inggris dan Belanda membuat perjanjian (Amiens 1802) bahwa jajahan Belanda di Indonesia harus dipulangkan oleh Inggris. Hal ini diperteguh lagi setelah kalahnya Napoleon (Konferensi London). Sir Stanford Raffles wakil gubernur Inggris dari India memperlambat pengembalian ini.
Ditahun 1818, Inggris mengembalikan Melaka kepada Belanda.
Tengku Long ditabalkan menjadi Sultan Riau-Johor tanggal 6 Februari 1819. dengan acara adat disaksikan oleh Raffles dan Mayor Farquhar. Dengan peristiwa ini terpecahlah Imperium Riau Johor menjadi dua yaitu Kerajaan Johor Singapura di bawah pimpinan Tengku Husin (T.Long) tahun 1824, Singapura jadi Crown Colony Inggris. Dan Kerajaan Riau dibawah Sultan Tengku Abdul Rahman Muazzamsyah II yang didukung oleh Belanda.
Namun akhirnya pada tanggal 3 Februari 1911 Kesultanan Riau dihapuskan, Sultan Abdulrahman Dimakzulkan lalu lari kesingapura karena tidak mau menandatangani Surat perjanjian dengan belanda Pemerintahan langsung ditangan Gubernur Hindia Belanda diwakili oleh seorang residen yang berkedudukan di Tanjung Pinang sampai awal masuknya Jepang.
Dalam Bataviaasche Novelles lebih lanjut diberitakan dari Jambi tertanggal 28 Maret 1711 bahwa seorang Minangkabau atau dari Pealaman, menyebut dirinya sebagai Raja Ibrahim, memperkenalkan diri sebagai keturunan Yang Dipertuan yang terkenal dengan pengikut enam atau tujuh orang, telah sampai dihulu Jambi, membawa lempengan perak dengan tulisan, persahabatan dengan Pangeran Pringga Raja serta saudaranya Kyai Gedee, Sultan Jambi.
Sangatlah mungkin apa yang disebut Yang Dipertuan disitu adalah Raja Kecil. Menurut cerita sederhana dari orang-orang bumi putera, bahwa Raja Kecil mengunjungi bajak laut Bugis di sekitar Bangka, untuk meminta bantuan menyerang Johor dan hal itu kelihatannya lebih sesuai dengan umumnya. Jika dalam Tahun 1648 sweaktu ia mengunjungi Jambi ia berumur 20 tahun, maka sewaktu merebut Johor dalam tahun 1717, umurnya telah mencapai umur 53 tahun, dan dalam tahun 1745 ia telah berumur 81 tahun (ia wafat tahun berikutnya), barulah sesuai jika ia dikatakan “telah berusia sangat lanjut”.
Kebenaran masalah ini tetap menimbulkan keraguan, tetapi perlu mendapat perhatian, bahwa pemerintah Melaka dalam tahun 1745, jadi 25 tahun setelah terjadi berbagai peristiwa, menurut pelukis Melayu adalah Raja Kecil, bukanlah Raja Sulaiman yang menjadi Raja Melayu.
Orang-orang bugis dibawah pimpinan lima bersaudara, Daeng Menambun, Daeng Marewah atau Kelana Jaya Putera, Daeng Perani dan Daeng Pali atau Daeng Celak dan Daeng Kemasi, dalam tahun 1134 (bersamaan 22 oktober 1721) membantu Raja Sulaiman menaiki tahta Johor, Riau dan Pahang. Pusat Kerajaan waktu itu berada di Riau, sebelah kedalam teluk. Pemimpin-pemimpin bugis tersebut mendapat imbalas atas jasa-jasanya, mungkin karena sultan merasa terima kasih atau oleh karena takut. Daeng Marewah, atau Kelana Jaya Putera menjadi Raja Muda dari Kerajaan Johor dengan gelar Sultan Alau’ddin Syah, sedangkan Daeng Manompo, juga seorang yang terkemuka diantara bajak laut bugis itu, diangkat dengan Raja Tuwah dengan gelar Sultan Ibrahim, ia merupakan raja kedua setelah Raja Muda.
Keterikatan Istana Johor dengan Bugis semakin erat setelah diadakannya perkawinan-perkawinan silang yang berlangsung. Daeng Marewah dikawinkan dengan Encik Ayu, janda Sultan Mahmud, tetapi tidak pernah hidup rukun akibat pengaruh masa remajanya. Daeng Manompo mengambil istri Tun Tepati, saudara ibu Sultan Sulaiman. Daeng Sasuru dan Daeng Mengato kawin dengan saudara sepupu sultan, dan orang-orang bugis yang kurang terkemuka kawin dengan putri-putri pejabat-pejabat dan kepala-kepala orang Melayu.
Semenjak para bugis melebur kedalam pemerintahan kemaharajaan Melayu Riau, sejak itulah Fungsi Hulu Riau sebagai Pusat pentakbiran Negeri semakin diperkuat benteng-benteng pertahanan dibuat sebaik dan sekuat mungkin seperti Benteng Pulau Bayan semakin diperkuat dengan Hadangan Batu-batu besar dari Kampung Nakhoda Pasir yang menyekat laut dari dasar,dibangunnya benteng Bukit Batu (Bukit Cermin sekarang), di pesisir, pesisir pantai yang rimbun bakau digali parit-parit yang digunakan sebagai pertahanan (Banyak ditemukan di Tanjung Unggat seputaran Sungai Payung) maka dulu banyak parit yang disebut Parit Bugis karma memang di gali Oleh Orang Bugis untuk dijadikan Benteng-benteng pertahanan, sekaligus dimanfaatkan untuk pelarian lanun-lanun. Mulai dibangunnya bangunan-bangunan dari beton, Kota dibangun dengan megah, Sejak Sultan Sulaiman Badrul alam syah 1722-1760 sampai dengan Sultan Mahmud Shah III 1761-1785 Hulu Riau masih dipergunakan sebagai Pusat Pemerintahan yang dipertuan Besar/Sultan, pasca Raja Haji sahit Fisabilillah di teluk ketapang dalam usahanya menyerang belanda dimalaka, Sultan Machmud III memindahkan Pusat Pemerintahan yang dipertuan besar Riau-Johor Pahang dan daerah Takhluknya ke Lingga (Daek Lingga). Sedangkan Raja Ali yang seharusnya menggantikan Raja Haji Fisabilillah sebagai yang dipertuan Muda melarikan diri ke Sukadana (Kalimantan) beserta Raja Hamidah putri Raja Haji Fisabillilah, dalam pelariannya Raja Hamidah sempat mengubah namanya menjadi Siti Payung karena takut diketahui oleh musuh-musuh yang juga mengincar mereka, maka itu nama siti payung selalu menjadi suatu Misteri Siapakah Itu? Seorang wanita yang digambarkan Cantik Bagai Putri Raja berada di Tanjung unggat.. Sebagai perwakilan, Sultan Machmud III memerintahkan Engku Muda Muhamad anak dari Tumenggung Abdul Jamal menjadi Wakil Sultan di Riau membuat kampong Di Tanjung Unggat ( Maka banyak sejarawan dari kalangan Melayu Menganggap Engku Muda Muhamad adalah yang Dipertuan Muda Riau-Johor Pahang yang ke V). setelah ketegangan dengan pihak belanda mereda, maka kembalilah Raja Ali ke Riau, setelah ia tau Sultan di lingga langsung ia kelingga untuk menuntut haknya Sebagai yang dipertuann muda Di Riau. Namun karena kuatnya desakan dari Pihak Melayu, agar jangan melibatkan Pihak Bugis lagi dalam Pemerintahan Kemaharajaan Melayu. Karena saat itu pihak melayu Banyak kejadian Pihak Bugis terlalu mengintervensi pihak melayu, sehingga kekuasaan Kerajaan Riau lebih dikuasai Oleh Pihak Bugis disbanding Melayu. Maka Sultan Machmud pun sulit untuk memutuskan. Melihat ketidak jelasan sikap Sultan Machmud, maka raja Ali dan Bugis-bugis pengikutnya mengatur kekuatan untuk menyerang Engku Muda Muhamad di Riau, engku muda muhamad sendiri memang sudah bersiap sedia di riau untuk menghadapi Apapun serangan baik dari Pihak belanda maupun Bugis. Engku Muda Muhammad memiliki Bala tentara yang mayoritas adalah orang Asli/Orang Sampan.
Sejak zaman hang Tuah dan Hulubalang-hulubalang Melayu sebelum masuknya bugis, selalu menggunakan Orang sampan sebagai armada perangnya, pada Masa Sultan Abdul Jalil yang merupakan bendahara menjadi Sultan di Johor, maka sejak itulah Orang-orang sampan banyak tidak mau membela Kerajaan Johor Lagi, sampai akhirnya Bugis masuk dan menguasai Sistem Keamanan Negeri Johor-Riau. Kecewanya pihak Orang sampan memang beralasan, karena mereka menganggap keturunan bendahara dan Bugis-bugis bekerja sama dengan belanda.
Seperti yang Kita Ketahui Peperangan Raja Haji Fisabillillah dengan belanda pada intinya, Adalah disebabkan karena permasalahan Pembagian Cukai yang tak Rata antara VOC dengan Kemaharajaan Melayu Riau, untuk Penjualan OPIUM/CANDU, Raja Haji Fisabilillah menganggap Belanda telah mengingkari Perjanjian. Maka dari itu Raja Haji tidak menginginkan Belanda membawa masuk OPIUM lagi kedalam Negeri Riau-Johor dan Pahang.
Sebelumnya juga kita ketahui sewaktu Daeng kemboja Menjadi yang dipertuan Muda Riau-Johor Pahang ke-III, ialah justru yang bersedia membayar uang ganti Rugi Perang kepada Belanda. Padahal Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah Sultan Riau-Johor sudah tidak berkenan Membayar, Dari hal-hal diataslah membuat kekesalan masyarakat melayu memuncak, yang berujung pada pemblokiran masuknya Keturunan Raja-raja bugis ini untuk berkuasa kembali ke Riau. Setelah tiba saatnya Raja ali menyerang Riau bersama tentara bayarannya yang merupakan Lanon-lanon bugis yang banyak berkeliaran di selat Melaka. Karena pertahanan tidak kuat, maka kalahlah Engku Muda Muhamad lalu kembali kepulau Bulang (Batam).
Dengan kalahnya Engku Muda Muhamad maka Raja Ali Mengambil Lagi Haknya sebagai yang Dipertuan Muda Riau yang notabennya harus berketurunan bugis. Lalu membangun Istana di Tanjung Unggat, atas saran-saran pembesar Kerajaan dan Pembesar Bugis, untuk menjaga Kerukunan Antara Kalangan Bugis dan Melayu di Bilangan Negeri ini, maka diNikahkanlah Raja Hamidah Oleh Sultan Macmud III lalu bergelar Engku Putri, lalu membuat Istana Di Tanjung Unggat sebagai Hadiah Untuk engku Putri, sebelum akhirnya pindah ke Pulau Penyengat yang dijadikan mahar kawinnya sebagai Permaisuri sekaligus pemegang Religia kerajaan. Sejak itu hubungan antara melayu dan bugis mulai membaik kembali. Walaupun perselisihan-perselisihan kecil tetap saja ada.
Engku Muda Muhamad tetap di Pulau Bulang dan menggelar dirinya (Mantan Yang Dipertuan Muda Riau dan Sultan Di Bintan).Setelah raja Ali mangkat, dan Engku Putri Pindah Kepulau Penyengat, sejak itulah Hulu Riau tidak pernah digunakan lagi sebagai Pusat Pemerintahan Baik yang dipertuan Besar/Sultan yang telah Pindah Ke Lingga ataupun yang dipertuan Muda. Karena Yang dipertuan Muda yang saat itu dipengang Oleh raja Jafar karena mengikuti Kakaknya Engku Putri yang pindah ke Pulau Penyengat akhirnya Menjadikan Penyengat sebagai Pusat Pentakbiran Negeri.
Tinggallah Tanjung unggat dan Pulau bayan yang dijadikan Tempat Kediaman dan Pertahanan Pihak Belanda. Sebelum belanda pindah kegedung daerah.


CERITA BAHAGIAN KE DUA
Kisah Sultan-Sultan Johor dan Riau
Sultan Mahmud Shah I
(1511-1528)
Sultan Johor 1

Pada 15 Ogos 1511, Melaka telah diserang oleh Portugis lalu baginda Sultan Mahmud Shah I telah melarikan diri ke Bertam, Batu Hampar, Pagoh seterusnya ke Pahang, Bentan dan akhir sekali Kampar. Baginda mangkat di Kampar pada tahun 1528 disebut "Marhum Kampar".

Sultan Alauddin Riayat Shah II
(Raja Ali / Raja Alauddin / 1528-1564)
Sultan Johor 2

Sultan Alauddin Riayat Shah II telah pergi ke Pahang menemui Sultan Mahmud Shah (Sultan Pahang 5). Baginda telah memperisterikan Puteri Kesuma Dewi (anak marhum Sultan Mansur Shah - Sultan Pahang 4). Pada tahun 1529, baginda ke Hujung Tanah dan membuka Pekan Tua (Kota Kara). Pada tahun 1535, seramai 400 askar Portugis yang diketuai Estavao Da Gamma telah menyerang Johor. Baginda telah melarikan diri ke hulu iaitu Rebat, Sayong. Seri Nara Diraja (pembesar sultan) kemudiannya meninggal di Sayong disebut "Datuk Nisan Besar". Susulan peristiwa itu Sultan Muzaffar Shah (Sultan Pahang 6) telah datang ke Sayong. Bagaimanapun pada tahun 1536, Estavoa Da Gamma telah menyerang Kota Kara kerana adiknya Paulo Da Gamma dan 30 orang Portugis telah dibunuh oleh orang Melayu. Justeru itu, satu perdamaian telah dimeterai antara kedua-dua belah pihak. Pada tahun 1540, Sultan Alauddin Riayat Shah II berpindah dan membuka Johor Lama. Baginda telah pergi ke Aru bagi membantu Ratu Aru dari ancaman Acheh. Pada tahun 1564, Sultan Acheh Sultan Alauddin al-Qahar mengalahkan Aru dan manghalau orang-orang Johor. Kemudian Sultan Acheh telah menyerang Johor Lama dari Aru. Sultan Alauddin Riayat Shah II ditawan dan dibawa ke Acheh dan dibunuh disana disebut "Marhum Syahid di Acheh".

Sultan Muzaffar Shah II
(Raja Muzafar / Radin Bahar / 1564-1570)
Sultan Johor 3

Sultan Muzaffar Shah II bersemayam di Johor Lama sebelum berpindah ke Seluyut pada tahun 1565. Baginda tidak suka Johor tunduk kepada Acheh. Pada tahun 1568, baginda menghantar tentera membantu Portugis sekaligus mengundang kemarahan Acheh. Pada tahun 1570, baginda mangkat di Seluyut disebut "Marhum Mangkat di Seluyut".

Sultan Abd. Jalil Shah I
(Raja Abdul Jalil / 1570/1571)
Sultan Johor 4

Sultan Abdul Jalil Shah I adalah anak kepada Sultan Muzaffar Shah II. Ketika berusia 8 tahun baginda telah ditabalkan sebagai Sultan, melalui wasiat Sultan Muzaffar Shah II. Sultan Abdul Jalil Shah I mangkat tiba-tiba dipercayai mungkin diracun Bendahara Tun Isap Misai (pembesar sultan) meninggal dan dikebumikan di Seluyut.

Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II
(Raja Umar / 1570 / 71-1597)
Sultan Johor 5

Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II berasal dari Pahang, suami kepada Raja Fatimah (adik Sultan Muzaffar Shah II, bapa kepada Sultan Abdul Jalil Shah I). Pada asalnya pembesar ingin melanti Raja Abdullah, anak Sultan Muzaffar Shah II, tetapi dibantah oleh Raja Fatimah dan mahukan suaminya dilantik sebagai Sultan. Tun Sri Lanang dilantik sebagai Bendahara. Pada tahun 1571 Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II berpindah ke Tanah Putih selama dua tahun.

Pada tahun 1573, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II berpindah ke Johor Lama dan membaik pulih semula kota Johor Lama.
Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II bersahabat semula dengan Acheh (Acheh bergabung dengan Johor menentang Portugis). Pada tahun 1576 dan 1578 Portugis menyerang Johor Lama tetapi ditewaskan. Januari 1573, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II menyerang Melaka dan hampir dapat menawan semula Melaka. Pada tahun 21 Julai 1587, angkatan Portugis yang diketuai Antonio de Noronha ke Johor membedil Kota Johor Lama dan merampas harta. Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II berundur ke Batu Sawar pada tahun 1587. Pada tahun 1589, Batu Sawar diserang dan Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II melarikan diri. Apabila Portugis balik ke Melaka, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah Iidatang semula ke Batu Sawar memulihkan semula kekuatan. Pada tahun 1596, Raja Fatimah mangkat, dan dikebumikan di Seluyut bersebelahan anaknya Sultan Abdul Jalil Shah I dan abangnya Sultan Muzaffar Shah II. Pada tahun 1597, Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Shah II mangkat di Batu Sawar dan disebut "Marhum Batu Sawar".


Sultan Alauddin Riayat Shah III
(Raja Mansur / 1597-1615)
Sultan Johor 6

Sultan Alauddin Riayat Shah III (anakanda Sultan Ali Jalla Abdul Jalil) bersemayam di Batu Sawar. Pemerintahan diserah kepada sepupu / saudara (berlainan ibu) Raja Abdullahdengan gelaran "Yang DiPertuan Hilir" di Kota Seberang bertentangan Batu Sawar menjadikan ia masyhur. Sultan Alauddin Riayat Shah III mengadakan hubungan baik dengan Belanda serta membenarkan Belanda meletakkan pegawainya di Batu Sawar. Selama 11 tahun Sultan Alauddin Riayat Shah III memerintah di Batu Sawar. Pada tahun 1608 Sultan Alauddin Riayat Shah III berpindah ke Pasir Raja, tetapi Batu Sawar masih berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Sultan Alauddin Riayat Shah III bersemayam di Pasir Raja dengan Bendahara Tun Seri Lanang. Pada tahun 1610, Sultan Alauddin Riayat Shah III berbaik dengan Portugis menyebabkan Acheh berasa marah sewaktu dibawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Jun 1613, Acheh telah menyerang Johor hingga berlarutan selama dua bulan, namun Johor telah ditewaskan. Sultan Alauddin Riayat Shah III, Raja Abdullah, Tun Seri Lanang, pembesar dan puluh orang Belanda ditawan serta dibawa ke Acheh. Kemudian kedua-dua belah pihak membuat perdamaian dan Sultan Alauddin Riayat Shah III bersama tahanan dibenarkan pulang ke Johor. Tetapi Sultan Alauddin Riayat Shah III tetap meneruskan hubungan dengan Portugis dan Belanda, tindakan ini menimbulkan kemarahan kepada Acheh lalu Sultan Alauddin Riayat Shah III ditangkap, dan dibawa ke Acheh semula dan dihukum bunuh. Pada 1615, Sultan Alauddin Riayat Shah III mangkat di Acheh.

Sultan Abdullah Ma'ayat Shah
(Raja Mansur / 1615-1623)
Sultan Johor 7

Sultan Abdullah Ma'ayat Shah diangkat oleh Sultan Acheh sebagai Sultan Abdullah Ma'ayat Shah dan bersemayam di Batu Sawar. Pada tahun 1618, Sultan Abdullah Ma'ayat Shah berpindah ke Lingga (Daik) dengan meminta bantuan Belanda dan Orang Laut melawan Acheh. Pada tahun 1623, Acheh menyerang Pulau Lingga untuk memburu Raja Bujang (anak Sultan Alauddin Riayat Shah III). Sultan Abdullah Ma'ayat Shah melarikan diri bersama-sama Raja Bujang ke Pulau Tambelan. Sultan Abdullah Ma'ayat Shah mangkat di Pulau Tambelan disebut "Marhum Pulau Tambelan".


Sultan Abdul Jalil Shah III
(Raja Bujang / 1623-1677)
Sultan Johor 8

Sultan Abdul Jalil Shah III merupakan anak saudara Marhum Tambelan, putera Sultan Alauddin Riayat Shah III bersemayam di Pulau Tambelan. Sultan Abdul Jalil Riayat Shah III menubuhkan Jemaah Orang Kaya. Pada tahun 1629, ancaman Acheh berkurangan kerana kekalahan teruk kepada Portugis. angkatan Johor-Belanda berjaya menakluki semula Melaka pada 14 Januari 1640. Belanda berjaya menakluki Melaka pada 1641, manakala Sultan Acheh, Sultan Iskandar Muda mangkat pada 1636 dan Sultan Iskandar Thani mangkat pada 1641 dan Acheh kemudian diperintah oleh Raja Perempuan Ratu Sultanah Tajul Alam. Pada 1641, Sultan Abdul Jalil Shah III datang ke tanah besar Johor iaitu pusat pemerintahan di Makam Tauhid. Selama dua tahun Sultan Abdul Jalil Shah III di Makam Tauhid sebelum berpindah menyeberangi Sungai Damar ke Pasir Raja yang juga dikenali sebagai Batu Sawar pada Oktober 1642. Sultan Abdul Jalil Shah III kekal di Pasir Raja hingga 1673 sebelum bermusuhan dengan Jambi dan meletusnya perang antara Jambi-Johor. Sultan Abdul Jalil Shah III melarikan diri ke Pahang dan bersemayam di Pahang selama empat tahun dan mangkat di Kuala Pahang disebut 'Marhum Mangkat di Pahang @ Marhum Besar"

Sultan Ibrahim Shah
(Raja Ibrahim / Putera Raja Bajau / 1677-1685)
Sultan Johor 9

Sultan Ibrahim Shah merupakan anak Sultan Abdul Jalil Shah III dilantik sebagai Sultan di Pahang pada 1677. Pada 1678, Laksamana Tun Abdul Jamil mengajak Sultan Ibrahim Shah berpindah dari Pahang ke Riau. Sultan Ibrahim Shah cuba untuk membina semula Kota Johor Lama tetapi tidak kesampaian. Sultan Ibrahim Shah mangkat di Riau pada 1685 disebut 'Marhum Bongsu".

Sultan Mahmud Shah II
(Raja Mahmud / 1685-1699)
Sultan Johor 10

Sultan Mahmud Shah II ditabalkan menjadi sultan ketika berumur 10 tahun. Urusan pentadbiran dijalankan oleh Bendahara. Pusat pemerintahan berada di Kota Tinggi, dan Johor Lama dijadikan istana hinggap. Disinilah Temenggung menjaga Kota Johor Lama. Sultan Mahmud Shah II dikaitkan dengan kezaliman dan menimbulkan pergolakan dalam negeri. Pada tahun 1697, Bendahara Seri Maharaja Tun Habib Abdul Majid meninggal dunia dan disebut "Marhum Padang Saujana". Pada 1699, Sultan Mahmud Shah II mangkat dalam usia 24 tahun, dipercayai ditikam oleh Laksamana Bentan dan disebut sebagai "Marhum Mangkat Di Julang" atau "Marhum Kota Tinggi".


Sultan Abdul Jalil IV
(Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil / 1699-1720)
Sultan Johor 11

Sultan Abdul Jalil IV ditabalkan sebagai sultan kerana Sultan Mahmud Shah II tiada meninggalkan waris. Sultan Abdul Jalil IV merupakan sultan pertama dari keturunan Bendahara. Selepas bergelar Sultan Abdul Jalil IV, baginda menukar pusat pemerintahan ke Panchor pada tahun 1700. Pada tahun 1702, istana di Bukit Tukul terbakar. Pada tahun 1708, Sultan Abdul Jalil IV berpindah ke Riau dan menjadikan pusat pemerintahan kerajaan Johor. Pada tahun 1716, Sultan Abdul Jalil IV berpindah ke tanah besar Johor dan bersemayam semula di Panchor. Sultan Abdul Jalil IV mempunyai istana di Makam Tauhid dan Johor Lama. Kota Johor Lama dibaiki dan digelar "Kota Lama". Sewaktu pemerintahan Sultan Abdul Jalil IV, keadaan agak kucar kacir kerana pembesar-pembesar kerajaan bersikap tamak, khianat dan cemburu, ini memberi peluang kepada Raja Kecil menyerang Johor. Pada tahun 1717, Raja Kecil dan askar dari Siak (Minangkabau) menyerang Johor. Pada 21 Mac 1718, Raja Kecil menawan Panchor. Raja Kecil melantik sendiri dirinya sebagai Yang Dipertuan Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah, pun begitu masih membenarkan Sultan Abdul Jalil IV menetap di Johor tetapi tiada kuasa memerintah dan diberi jawatan Bendahara. Kemenangan Raja Kecil adalah atas bantuan pembesar Johor sendiri kerana yakin Raja Kecil adalah pewaris sultan. Raja Kecil menitahkan Laksamana Nakhoda Sekam ke Kuala Pahang membunuh Sultan Abdul Jalil IV dan disebut "Marhum Mangkat di Kuala Pahang".

Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah
(Raja Kecil / Yang Dipertuan Johor / 1718-1722)
Sultan Johor 12

Sultan Abdul Jalil Rahmat Shah (Raja Kecil) merampas kuasa sultan dari Sultan Abdul Jalil IV dan 'mengaku' waris Sultan Mahmud Shah II yang sah. Pada tahun 1719, cubaan merampas semula kuasa oleh Sultan Abdul Jalil IV dan anaknya Raja Sulaiman dan Tun Abas, yang berkubu di Seluyut gagal. Sultan Abdul Jalil IV lari ke Kuala Pahang. Raja Kecil telah berpindah ke Riau dan mentadbir Johor dari Riau. Sultan Abdul Jalil IV dari Kuala Pahang ke Kuala Terengganu dan pada tahun 1720 balik semula ke Pahang. Raja Kecil telah menitahkan Laksamana Nakhoda Sekam ke Kuala Pahang membunuh Sultan Abdul Jalil IV. Raja Sulaiman dan Tun Abas dibawa ke Riau tetapi Raja Sulaiman dan Tun Abas tidak mahu tunduk kepada Raja Kecil dan berpakat dengan Bugis Lima Bersaudara dan berjaya mengalahkan Raja Kecil halau balik ke Siak.


Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah
(Raja Sulaiman / Yang Dipertuan besar Johor-Riau / 1722-1760)
Sultan Johor 13

Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah ditabalkan sebagai Sultan Johor-Riau oleh Bugis 5 Saudara. Kesultanan Johor diperintah semula oleh keturunan Bendahara. Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah kemudiannya dilantik Daing Merewah (Kelana Jaya Putera) sebagai Yamtuan Muda Johor Pertama. Di bawah naungan Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah, kuasa membuat keputusan bukan lagi dari menteri dan jemaah. Hubungan dengan Belanda terjalin disebut Perjanjian 1754. Perjanjian 1756 memberi hak monopoli perdagangan timah di Linggi, Kelang, Kuala Selangor tanpa keizinan raja memerintah. Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah mangkat di Riau pada Ogos 1760 disebut "Marhum Batangan".


Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah
(1760-1761)
Sultan Johor 14

Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah dilantik sebagai sultan menggantikan ayahandanya, tetapi Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah menetap di Kuala Selangor sedang gering. Lima bulan selepas kemangkatan ayahandanya, tiba-tiba Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah mangkat dipercayai diracun. Sultan Abdul Jalil Muazzam Shah disemayamkan di Riau, berhampiran makam ayahandanya.

Sultan Ahmad Riayat Shah
(1761)
Sultan Johor 15

Sultan Ahmad Riayat Shah dilantik menggantikan ayahandanya ketika berusia sembilan tahun. Kuasa pemerintahannya dipegang oleh Yamtuan Muda Daeng Kemboja. Sultan Ahmad Riayat Shah bersemayam di Kampung Bulang, Riau. Pada tahun 1761, pegawai Belanda telah dating dari Melaka menuntut wang gantirugi perang sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Sultan Sulaiman dahulu. Yamtuan Muda Daeng Kemboja sanggup membayar gantirugi tersebut dan ini mengukuhkan lagi kuasa Yamtuan Muda Daeng Kemboja. Sultan Ahmad Riayat Shah mangkat di Riau dalam usia yang muda dipercayai diracun dan disebut "Marhum Tengah".

Sultan Mahmud Shah III
(Raja Mahmud / 1761-1812)
Sultan Johor 16
Sultan Mahmud Shah III menjadi pemerintah Johor-Riau-Lingga. Akibat daripada perpecahan pentadbiran kerajaan Johor, tiga negeri diperintah oleh pemerintah yang berlainan seperti Singapura-Temenggung, Riau-Yamtuan Muda dan Lingga-Sultan. Pada tahun 1812, Sultan Mahmud Shah III mangkat di Lingga.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah
(Tengku Abdul Rahman / 1812-1819)
Sultan Johor-Riau 17

Berlaku perebutan kuasa yang mana sepatutnya Tengku Husin (Tengku Long) anak sulung Sultan Mahmud Shah III dilantik sebagai sultan. Perlantikan Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah disokong kuat oleh Belanda kerana akan mendapat kuasa mentadbir pelabuhan seluruh negeri Johor kecuali Riau dan Lingga. British mula hendak campurtangan atas kepentingan Singapura dan cuba mempengaruhi Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah melantik Tengku Husin sebagai sultan.

Sultan Muhammad Syah (1832 M-1834 M)
Sultan Riau lingga 1

Sultan Mahmud Muzafar Syah (1834 M-1857 M)
Sultan Riau lingga 2

Sultan Badrul Alam Syah (1857 M-1883 M)
Sultan riau-lingga 3

Sultan Abdurrahman Muazam Syah (1883 M-1913 M)
Sultan Riau-lingga 4
Sultan ini diam-diam sedang merencanakan perlawanan melawan Belanda,namun rencana nya telah diketahui dan Beliau dimakzulkan/diturunkan dari tahtanya.Melalui Surat Keputusan Pemerintah Belanda STBL 1913/19 maka Kesultanan Melayu Lingga-Riau dihapuskan. Dengan ini berakhir sudah kekuasaan Kerajaan Melayu Riau sebagai penerus Kemaharajaan Melayu Sriwijaya, Bintan, Tumasek, Malaka di Indonesia, dengan diserahkannya Cogan sebagai religia Kemaharajaan Melayu yang Utama.





Secebis Kisah dari Riau
Di Susun pada Tahun 1940 disalin Ulang dan dirapikan tata Bahasanya pada Tahun 2001.

Hulu Riau / Sungai Carang ,di buka oleh Tun Abdul Jamil atas perintah Sultan Abdull Jalil Syah (1613-1677) Pada tahun 1673, Hulu Riau Dibuka sebagai Kota (Kubu Pertahanan sekaligus kediaman Raja) lalu dilanjutkan Oleh Sultan Ibrahim (1677-1685) karena pada saat itu Johor sedang bertikai dengan jambi, dari Hulu Riau lah akhirnya Sultan Ibrahim dapat menaklukkan Jambi. Sebelumnya pada Era Sultan Machmud Syah I (1511-1528) Sultan Machmud Pernah memerintahkan Laksmana Hang Nadim untuk membangun Istana sebagai tempat pelarian sementara Sultan dari serangan Portugis dari sini pula hang nadim pernah menyusun kekuatan lanun untuk mencari uang karena saat itu Ketidak jelasan Pusat Ibu kota sehingga perputaran ekonomi kerajaan sangat tidak menguntungkan, sehingga Merompak adalah salah satu Alternatif, Kemudian Pindah ke Pengujan (Keramat Makam Panjanng).
Hulu Riau – Sungai Carang Baru mempunyai fungsi tetap sebagai Pusat Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang pada Era Pemerintahan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (Raja Kecik) (1718-1722) tepatnya pada tahun 1719, namun pada tahun tersebut juga pecah peperangan antara Raja Kecik tepatnya pada tahun 1721 dengan Kerabat Sultan Abdul Jalil Riayat Syah yang di motori oleh Bendaharanya Tun Husen di Bantu Para Opu-opu Lanun dari Bugis.
Akhirnya peperangan dimenangkan oleh Kerabat Sultan Abdul Jalil Riayat Syah dan Lanun-lanun bugis. Maka Tun Husen dan Para Lanun-lanun Bugis tersebut manggangkat Zuriat Sultan Abdul Jalil Riayat Syah yaitu Raja sulaiman menjadi Sultan Riau-Johor dan Pahang bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (1722-1760), untuk menghindari serangan balik dari raja Kecik maka Lanun-lanun Bugis tersebut dimintalah untuk tetap menjaga Negeri Riau-Johor-Pahang. Namun Lanun-lanun tersebut Menolak Jika mereka hanya menjadi penjaga Bayaran, maka dimintanyalah kepada Sultan Sulaiman yang waktu itu masih sangat Muda, agar mereka diberi Jabatan Yang Dipertuan Muda, karena tidak ada pilihan lain Karena takut kalau sekali-kali waktu Raja Kecik datang menyerang maka diangkatlah salah satu diantara Ke-lima puak Lanun Bugis tersebut untuk menjadi Yang Dipertuan Muda. Dari perundingan diantara Lanun Bugis tersebut maka diangkatlah saudara ke-3 mereka yaitu Daeng Marewah, karena mengingat Daeng Marewah lebih berpengalaman mengharung Biru perairan di Rantau Melayu ini. “Dikisahkan dalam cerita bahwa Daeng Marewah Pernah bertembung dengan Laksmana Bintan (Megat sri Rama), saat itu Daerang Marewah membantu Tun ? merampok kapal-kapal pedagang yang masuk keperairan Johor-Pahang, sebagai bentuk kekacauan yang diciptakan Tun ? disaat pemerintahan Sultan Machmud II Mangkat di Julang (1685-1699). Walaupun akhirnya Daeng Marewah Kalah dan Menyingkir”.
untuk sepengetahuan, ke 5 puak lanun bugis tersebut adalah 5 beradik berasal dari negeri luwuk, anak dari Daeng Rilaga diantaranya Daeng Parani,Daeng Manambun ,Daeng Marewah ,Daeng Celak ,Dan Daeng Kemasi dengan diangkat nya Daeng Marewah sebagai yang dituan muda maka lemah lah kekuasan sultan ,yang dipertuan muda mengambil segala bentuk kekuasan yang dulunya penuh dimiliki sultan. sultan hanya menjadi Yang Di Pertuan Besar berkedudukan di istana Sungai Carang-Hulu Riau di Istana Balairung Sari, kekuasan nya kini harus terbelah bagi dengan Yang Dipertuan Muda.dan berterusan hingga berakhir Kerajaan Riau, bahwa kekuasan melayu sudah berpengaruh oleh bugis.
Diera Raja Haji Fisabillilah sebagai yang dipertuan muda , maka raja haji membangun istana di Pulau Biram Dewa (pulau tempat letak gajah sultan yang di hadiah kan Raja Siam ,gajah tersebut diberinama Biram Dewa), dan akhirnya di sebut Kota Piring karena Istananya banyak Bertatahkan Piring.
Sebelum Raja Haji Fisabililah menjadi Yang Dipertun Muda menggantikan Daeng Kemboja anak dari Daeng Parani ,Daeng Kemboja membuat istanah yang di pertuan muda di kampong pasir (kuda pasir), mangkat di Riau bergelar Mahrum janggut, Nisan Makamnya bertatahkan Intan berlian mutu manikam.
Setelah Raja Haji Fisabillilah mangkat di Teluk Ketapang akibat peperangan dengan belanda maka ia di gantikan dengan Raja Ali anak kandung Daeng Kemboja.Raja Ali membangun istana di Tanjung unggat.akibat peperangan dengan belanda(dikenal dengan perang riau 1784) Raja Ali menyingkir keluar Riau kesukadana-Kalimantan ,dan Sultan Machmud Syah III menyingkir kelingga dan membangun istana di lingga.pada masa inilah perjalanan roda pemerintahan kerajaan melayu riau telah masuk monopoli belanda dan inggris.ahkhirnya dipecahkan lah kekuasaan daerah takluk kerajaan riau johor pahang,johor pahang di bawah pengruh inggris dan riau di bawah pengaruh belanda.tahun 1786 belanda menetapkan residen nya pertama kali di pulau bayan dan Tanjung unggat menempati bekas Benteng Raja Ali. Pada tahun 1792 Sultan Machmud baginda Lingga Menitahkan Engku Muda Muhamad untuk menjadi Wakil Sultan di Riau. pada tahun 1795 terjadi pengembaliaan kedaulatan Kerajaan Riau dari gubenur belanda di Batavia. setelah selesai konflik tersebut Raja Ali kembali Kenegeri Riau menuntut hak nya sebagai Yang Di Pertuan Muda namun Engku Muda Muhamad (wakil dari Sultan Mahmud Syah III di Riau ) menolak.akhirnya terjadi perang saudara antara orang suku melayu dan bugis.dalam peperangan tersebut Engku Muda kalah dan menyingkir kembali ke-Pulau Bulang. Raja Ali mendirikan Istana yang dipertuan muda di Tanjung Unggat, lalu dinikahkanlah Sultan Machmud III dengan Engku Hamidah binti Raja Haji fisabbilillah sebagai tanda kerukunan antara Bugis dan Melayu , sebagai hadiah dibangunlah Istana ditanjung unggat untuk Raja Hamidah yang bergelar Engku Putri Pemegang Religia Kerajaan Riau-Lingga-johor dan Pahang, sebelum Pindah ke Pulau Penyengat.
Dengan pindah nya Sultan Mahmud Syah III ke lingga maka berakhir pula lah peran Hulu Riau-Sungai Carang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Melayu Riau.sehingga Hulu Riau-Sungai Carang lebih sering disebut dengan sebutan Kota Rebah (kota tidur)
Hulu Riau-Sungai Carang kini hanyalah penuh dengan makam-makam yang berserakan di kampong melayu, sungai timun, kota piring, air raja, kampong bulang, tanjung unggat, pulau bayan , dan kampong pasir. reruntuhan tembok dan pagar istana yang dapat kita jumpai di kota raja (kota lama /kota rebah), kota baru atau kota piring pulau biram dewa dapat pula kita temui reruntuhan tembok dan pagar istana Raja Haji Fisabillilah.



Berikut dalah sisa-sisa peninggalan yang masih dapat di temui didaerah bekas Pusat Pemerintahan Kerajaan Riau-Johor-Pahang dan daerah takluknya- diHulu Riau :

Tanjung Unggat.



Tanjung Unggat dijadikan perkampungan sekitar tahun 1792 Oleh enggku Muda Muhamad putra Tumenggung Abdul Jamal, sebagai wakil Sultan di Riau pengganti Yang dipertuan muda Raja Haji Fisabbilillah yang mangkat diteluk ketapang. Sedangkan pengganti Raja haji Fisabillillah yang seharusnya dari keturunan Bugis Raja Ali Bin Daeng kemboja, mengungsi Kesukadana beserta Anak Raja Haji Fisabbilillah, yaitu Raja Hamidah.
Sedangkan Sultan Machmud Beserta anggota keluarka serta pegawai-pegawai kerajaan Riau-Johor Pahang pindah kelingga, dan ada yang ke Trenggano.
Dalam Tuhfat Al-nafis karya Raja Ali Haji dikatakan bahwa Setelah Raja Ali kembali keriau menuntut Jabatan yang dipertuan hingga berperang dengan Engku Muda Muhamad dan Pasukan Melayunya sebagai Perwakilan Sultan di Riau, dengan membawa kemenangan kepada Pihak Bugis, membuat Istana Di Tanjung unggat. Lalu dinikahkan raja Hamidah dengan sultan Machmud Syah III, sebagai hadiah maka dibangun Istana untuk engku putrid di tanjung unggat. Sebelum Pulau Penyengat di Bina.


Sisa-sisa Situs yang masih dapat Kita Lihat Hingga Hari ini :


Komplek Pemakaman Raja Ali Marhum pulau Bayan.



Mahrum pulau bayan merupakan keturunan bugis yang dapat mempertahankan posisi kalangan Raja-raja Bugis dalam kerajaan Riau, karena saat itu Raja-raja dari kalangan bugis sudah Hilang kembali kerahmatullah, dan desakan orang-orang Melayu yang sudah Lama menaruh dendam kepada pihak bugis, turut menyokong Engku Muda Muhamad yang ingin mengusir seluruh Bugis dari pemerintahan Riau ini.

MAKAM RAJA FATIMAH



Raja Fatimah adalah Istri dari Daeng Kemboja, termasuk istri yang sangat disayangi daeng kemboja. Tidak terlalu banyak sejarah yang bisa sy informasikan mengenai Raja Fatimah ini. Tapi yang jelas kalau dilihat dari pada nisan ini, ini termasuk nisan mewah yang ditempah khusus karena tertera nama dinisan tersebut.

POHON KAYU ARA

Tak dapat dipastikan Usia dari Pohon Kayu ara ini, namun dari besarnya pohon ini yang sudah bisa dikatakan ukuran Raksasa, mengingat yang menghuni di perkampungan ini ada keluarga yang telah menempati perkampungan ini lebih dari pada 100 tahun. Dan banyak terdapat makam lama di Bawah Pohon tersebut. Dan menurut keterangan salah satu Warga tanjung Unggat, bahwa Dulu sekitar Tahun 90 an, tak jauh dari lokasi Pokok ini terdapat batu bata yang bersusun-susun (Pondasi dan bekas tembok bangunan), batu batanya mirip sekali yang dipakai pada bangunan-bangunan lama..
Pada tahun 1992 salah seorang warga sekitar pernah menjumpai sebuah terompet yang terbuat dari tembaga pas dibawah Pohon ini, mirip dengan terompet yang sering di gambarkan pada Film-film lama digunakan untuk orang berperang, namun karena dianggap barang biasa, maka terompet tembaga tersebut dijual dengan tukang besi kiloan.


SURAU AL-GHOFUUR (Tapak Surau tertua di Tanjungpinang)

Mengenai kapan, Surau Al-Ghofur Pertama kali didirikan, belum dapat kita pastikan, namun jika merujuk pada cerita orang-orang lama di Kampung Tanjung Unggat. Surau ini dulunya adalah pusat aktivitas bagi masyarakat baik Bermusyawarah atau berkumpul setelah shalat, selain difungsikan sebagai tempat beribadah, Merujuk pada sumber sejarah tempatan, bahwa Raja Ali memiliki Guru Tarekat yang bernama Syeh Abdul Ghofur dan mulai menghuni Tanjung Unggat sekitar AwaL tahun 1800 dengan membangun Istana di tanjung Unggat, namun pada tahun sebelum 1970 surau ini bernama Surau Raudhatul Mussholin, yang saat ini Nama Raudhatul Musshollin di Gunakan di Masjid di Gg.45 Tanjung Unggat. Namun jika ditarik dari garis keturunan Penduduk Asli Masyarakat Tanjung Unggat yang diperkirakan mulai mendiami daerah Tanjung Unggat Ujung ini sekitar tahun 18-san diperkirakan surau ini sudah ada sebelumnya walaupun Bentu surau ini sudah direnovasi total, dalam pembangunan suatu istana kerajaan melayu yang identik dengan islam pasti sudah dilengkapi juga dengan sebuah masjid. Ini dibuktikan dengan sampai pada tahun 1980-an masyarakat dari daerah-daerah pesisir Hulu Riau seperti Sungai Timun, Kampung Melayu, Kampung Bulang, Tanjung Lanjut, Sungai Ladi, melaksanakan Shalat berjamaah di Tanjung Unggat, ya disurau ini.


KOMPLEK KERKHOF (KUBURAN BELANDA) PERTAMA DI TG.PINANG

Akibat tidak adanya tindakan penyelamatan/konservasi yang mengarah kepada pencarian Situs Cagar Budaya yang di rencanakan secara baik dan benar, hingga pada tahun 1980-an akibat proses pembangunan perumahan penduduk didaerah perkampungan tanjung Unggat, hingga Komplek Pemakaman ini sudah tak dapat kita temui lagi karena telah dibangun rumah warga, namun warga sekitar Tanjung unggat Rt.01 Rw.V kel. Tanjung Unggat ini cukup tau kalau Lokasi ini adalah bekas pemakaman, dulu orang menyebutnya kubur orang Kristen, karena Nisannya salip semua. Pada tahun 1997 salah seorang orang tua yang dapat dipercaya pernah menyampaikan kepada penyusun kalau dulu disini ada Pos jaga belanda, menurut cerita orang-orang tua sebelum dia banyak orang belanda yang sempat tinggal disini, bahkan Gedung residen belanda pertama bukanlah di Pulau bayan seperti apa yang diceritakan oleh orang selama ini, melainkan di istana Raja Ali di tg.unggat, bukan dipulau bayan. Karena dipulau bayan sendiri berdiri sebuah benteng pertahanan bukan Istana. Jalan darat dari tanjung unggat ke batu 2 dibuka belanda 1893, karena saat itu tg.unggat sudah digunakan sebagai pelabuhan dagang yang utama di Riau, telah dibangun gudang-gudang besar yang dapat menampung ber Ton-ton barang (pergi sekarang masih ada Gudangnya - dan pelabuhannya juga masih jalan).

TAPAK ISTANA RAJA HAMIDAH/ENGKU PUTRI DAN RAJA ALI.


Untuk menemtukan dimana tapak istana engku Putri dnn raja ali berada memang agak sulit, Cuma kalau dilihat kembali literature Tanjung unggat, dan beberapa penemuan Pondasi bangunan lama mungkin dapat sedikit kita jadikan acuan, untuk sebuah penelitian yang lebih mendalam. Namun dari penelitian yang telah dilakukan, terdapat 3 lokasi yang dipercayai terdapat bekas pondasi bangunan lama, karena masih menggunakan material sama dengan bangunan-bangunan tua umumnya di Kawasan Hulu Riau dan tanjungpinang. Pada tahun 1990 Di tanjung unggat juga dapat ditemui sekitar 3 sumur tua, namun 1 sumur yang sebenarnya bisa membantu membuka tabir kesejarahan Melayu di Tanjung unggat inilah justru yang telah dihancurkan dan dibangun rumah warga diatasnya. Menurut salah seorang warga setempat yang pernah mengikuti rencana penggalian harta karun dilokasi Sumur dan pondasi bangunan lama tersebut pada tahun 1989, “dilokasi ini dulu ada batu yang bersusun-susun rapi, batunya sama seperti batu-batu yang digunakan di Hulu riau untuk pondasi-pondasi bangunan dan ada sebuah sumur di lokasi itu dulu”.
Pada hari ini memang sudah tidak dapat kita lihat lagi tapak-tapak tersebut, namun Pengumpulan mengenai materi ini terus penyusun lakukan, untuk mendapatkan satu refrensi yang baik mengenai hal tersebut, namun hal yang telah disebutkan tadi dapat juga untuk mengembangkan Wacana tersebut.
Wallahuaklam.

Kampung Bulang
LOKASI KAMPUNG BULANG
Menurut cerita warga tempatan, Kampung ini disebut kampong Bulang karena banyak Ulama-ulama dari arab yang sering memakai Bulang yang tinggal ditempat ini. Terlepas dari cerita Rakyat tersebut, dalam sumber sejarah tempatan Sultan Ahmad Riayat Shah(1761) atau disebut Marhum Tengah Sultan Johor ke-15 yang diangkat ketika berusia 9 tahun dikisahkan Bersemayam dikampung bulang
Dikampung bulang sebenarnya terdapat 4 Komplek Pemakaman namun yang dapat kita lihat saat ini hanyalah 3 makam yang utuh dengan nisan, merujuk pada sumber sejarah tempatan bahwa Kampung bulang dulunya merupakan satu pulau tidak menyatu dengan Tanjungpinang seperti sekarang dipisahkan dengan Sungai Grobos ( Kawasan Rawasari Sekarang ). disini terdapat 3 Makam yang utuh dengan Nisan, Sebagai Berikut :

Disini terdapat tembok berukuran lebih Kurang 10 meter Persegi dengan tebal 1 Hasta, didalam terbok ini masih utuh terdapat 1 Makam yang masih bernisan, yaitu makam Perempuan dengan nisan Pipih berukir, tenggelam yang tampak dipermukaan hanya lebih kurang 10 cm saja.
Tidak jauh dari Tembok ini lebih kurang 15 meter terdapat 1 makam lagi, yang dipercayai warga sekitar adalah makam Tengku, namun tidak diketahui pasti namanya. Setelah merujuk pada Sumber sejarah tempatan maka kami percayai ini adalah makam Sultan ahmad Syah mahrum tengah yang berusia 8 Tahun, yang dikisahkan dalam sejarah wafat di racun, lalu bersemayam di kampong bulang.
Berjarak sekitar 50 meter lagi terdapat satu makam yang masih utuh Nisannya bercorak. Dari pemantauan kami pada tahun 2001 masih terdapat satu komplek pemakaman di kawasan ini, namun karena ada pembangunan rumah ma ka semua makam-makan tersebut tergusur tinggallah satu makam ini karena sebelumnya juga telah di pagari. Ini merupakan makam perempuan, namun tidak diketahui secara pasti namanya..

Kampung Melayu

Kampong melayu tepat berada di pintu masuk kesungai carang, dilokasi kampong melayu ini terdapat satu komplek pemakaman yang cukup besar dan terdiri dari Orang-orang penting kerajaan, termasuk Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah beserta Anaknya. Akibat maraknya penjualan tanah oleh warga setempat yang telah dimulai sejak tahun 1990-an membuat banyak lokasi makam dan bahkan makam yang digusur oleh para pembeli lahan untuk dibangun rumah, gudang dan bengkel, dari pemantauan kami langsung kelapangan lebih kurang 60-an makam yang bernisan baik batu aceh maupun batu cadas biasa yang telah hilang akibat pembangunan oleh pihak-pihak yang tak bertanggug jawab. Selain makam-makam tua tidak ada lagi peninggalan yang dapat kami data/kami teliti lagi.


Pulau bayan

Pulau bayan, pada zaman Kemaharajaan Melayu Riau-johor Pahang berbasis di Hulu Riau, merupakan benteng pertahanan yang utama, karena benteng pulau penyengat masih belum difungsikan sebagai benteng pertahanan, menurut cerita orang tua yang dapat dipercaya, pada saat Raja Kecik Menjadi sultan Johor 1718-1722 pulau bayan menjadi benteng yang sangat kuat hingga sulit untuk di tembus lawan, hingga pada saat Daeng Marewah bersama orang-orang bugis menyerang Riau untuk menaklukkan raja kecik yang sedang bertahan di Kubu Mentangor Sungai Riau, sempat dibuat kewalahan pasukan Panglima Reteh yang menjadi Hulubalang Pulau bayan. Hinggakan keheranan Para Bugis-bugis, karena tak bisa menembus masuk keriau, tak patah arang. Daeng Marewah beserta bugis-bugis mundur untuk berputar haluan, setelah berapa lama akhirnya menggali Terusan madung untuk dapat menembus kedalam Kuala Riau. Tak berapa lama daeng marewah beserta Orang-orang Bugis, selesai menembus Terusan madung lalu masuk kesungai dan bertembunglah dengan pasukan Raja Kecik di Tanjung sepadam. Dan menembus kesungai riau, akhirnya berhasil menangkap Raja Kecik di Sungai Riau ( Kubu mentangor ).


Sungai Timun

Sungai timun merupakan salah satu sungai yang sering disebut dibuku-buku sejarah melayu, karena letaknya yang berhampiran dengan Sungai carang, disungai timun sendiri mula-mula dibuka menjadi perkampungan sekitar tahun 1513 Oleh Laksmana Hang Nadim, sewaktu menyusun kekuatan lanun.
Disungai timun juga masih terdapat Situs Komplek pemakaman Pembesar-pembesar Kemaharajaan Melayu Riau-Johor Pahang, salah satunya yang dapat terdata Oleh kami adalah Makam Syeh Umar Ar’roi, dilokasi sungai timun terdapat 5 Komplek Pemakaman lama, namun sebagian besar masih tidak diketahui nama-nama orang yang dimakamkan diwilayah tersebut kecuali satu makam yang kami sebutkan tadi. Namun kesemuanya tetap dalam penelitian yang lebih mendalam, dan terus akan kami usahakan bengembangan data-data mengenai situs-situs tersebut.

SUNGAI CARANG

Sungai Carang Adalah sebuah sungai yang berada di Hulu Riau/Hulu Kuala Riau. Letaknya yang jauh masuk kedalam membuat kawasan ini menjadi tempat yang sangat baik untuk mendirikan kerajaan selain itu dilokasi ini banyak terdapat mata air, hingga banyak Raja-raja melayu menjadikan sungai carang sebagai tempat Pelarian Kerajaan Melayu, untuk menghindari serangan dari pihak lawan. Hulu Riau – Sungai Carang Baru mempunyai fungsi tetap sebagai Pusat Kerajaan Melayu Riau-Johor-Pahang pada Era Pemerintahan Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (Raja Kecik) (1718-1722). Baru selanjutnya setelah pihak bugis berhasil menjatuhkan raja kecik dan semakin menancapkan Kukunya di Tanah melayu ini secara turun temurun. Sungai carang baru melepaskan statusnya sebagai Kota Raja setelah Sultan Mahmud Memindahkan Pusat Pemerintahan Yang dipertuan Besar ke Lingga pada Tahun 1785, dan yang dipertuan Muda yang saat itu sementara di pegang Oleh Engku Muda Muhamad menjadikan Tanjung Unggat sebagai tempat persemayamannya.
Wallahuaklam.

Situs Kota raja / Kota rebah




Kota dalam persepsi lama adalah Benteng pertahanan yang dikelilingi tembok tebal atau kayu besar sebagai pelindungnya, dan didalamnya terdapat istana Raja.Maka Situs ini seperti itulah Fungsinya, dalam bahasa orang tempatan ia disebut Kota Rebah Orang-orang tua dahulu sering mengatakan Benteng di Kota rebah, bukan menyebutnya Istana.
Dilokasi in juga banyak terdapat makam-makam lama, namun sama seperti kebanyakan makam lama, makam-makam dilokasi situs ini juga tak diketahui namanya. Siitus ini tak diketahui secara Pasti didirikan pada Tahun berapa dan pada Zaman siapa didirikan. Para Ahli sejarah hanya mengambil garis besarnya saja bahwa didirikan pada Tahun 1673 tahun ini diambil karena pada Tahun tersebut, disebut-sebut dibangun sebuah Kota Yang Riuh disungai carang. Namun untuk pastinya rerentuhan bangunan yang terbuat dari beton tersebut didirikan.




Makam Daeng Celak

daeng celak yang dipertuan Muda Riau Johor Pahang yang ke dua menggantikan Saudara kandungnya daeng Marewah, daeng Celak adalah Ayah dari Raja Haji Fissabilillah yang sangat termasyur. Daeng celak menikah dengan tengku mandak adik kandung Sultan Sulaiman Badrul alamsyah. Dilokasi Komplek pemakaman ini, dimakamkan juga Tengku mandak bersebelahan denan makam daeng kemboja. Dan kerabat beserta Pengikut setia daeng Celak yang dikenal Mahrum Mangkat disaungai Baru.

Makam Daeng Marewah


Daeng Marewah yang dipertuan Muda Riau-Johor dan Pahang yang pertama, daeng marewah merupakan saudara ke-3 dari Bugis yang Lima bersaudara. Ia dikenal sebagai orang yang berani, dalam beberapa peperangan daeng marewah selalu dijadikan Pemimpin. Hingga dalam Ekspedisi kali ini Kami dari DPPSHR mengunakan namanya. Daeng marewah Mangkat di Riau dan disebut Mahrum Mangkat di Kota.

KOMPLEK MAKAM TUN ABAS (BENDAHARA KEMAHARAJAAN RIAU JOHOR DAN PAHANG

Komplek pemakaman ini terletak tak jauh dari makam daeng Marewah, menurut salah satu cerita makam ini dahulu berada di Johor namun hilang dan muncul di Kawasan Hulu Riau. Tun Abas adalah bendahara Kerajaan Riau Johor dan Pahang pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Sungai Galang Km.8 Atas
Dilokasi ini terdapat 2 komplek pemakaman yang masih utuh dengan tembok yang mengelilingi komplek.
Komplek pertama :

dilokasi ini terdapat 5 makam terdiri dari 3 makam perempuan dan 2 makam Laki-laki yang dipercaya adalah makam Panglima Galang namun sampai saat ini belum bisa di buktikan secara tulisan, namun bentuk pagar/tembok pada komplek pemakaman ini cukup luas lebih kurang 25 Meter Persegi dan bentuknya tidaklah sama sisii lebih kurang berbentuk seperti benteng atau tempat peranginan dengan tebal tembok sekitar satu Hasta dalam kajian kami pada tahun 2004 telah diambil kesimpulan Bahwa Lokasi Ini adalah Benteng Pertahanan yang di Sebut BENTENG GALANG, yang dibangun kira-kira se usia dengan istana kota piring di Biram dewa. wallahuaklam.

Komplek Kedua :


Komplek kedua ini terletak lebih kurang 35 Meter dari komplek yang pertama tepat dibawah bukit, komplek ini dipercayai oleh warga tempatan sebagai makam PANGLIMA HITAM ( DATUK MUSA HITAM ) NAKHODA PERAHU DIRAJA. Dilokasi pemakaman ini didalam Pagar setebal satu Hasta terdapat 2 makam utama, sedangkan diluar makam terdapat sekitar 20 makam dengan berbagai bentuk nisan yang dari batu cadas biasa dan 1 makam dengan nisan berukir terbentang di lokasi komplek pemakaman yang luasnya lebih kurang 25 meter persegi.
Namun dari hasil penelitian kami, kami merujuk pada pendapat Raja hamzah yunus bahwa Makam tersebut adalah makam Sultan Ibrahim pendiri Riau. Kenapa kami sependapat, karena menurut sumber sejarah tempatan, bahwa sultan Ibrahim Mangkat di Riau dan dimakamkan di riau.
Jika dilihat dari sisa situs yang masih tersisa dapat kita lihat kemegahan tembok makam tersebut dan besarnya makam, serta di sekitar makam terdapat Puluhan Makam lama salah satu makam masih menggunakan Nisan Batu Aceh.

LOKASI SUNGAI CARANG / AER RAJE
MAKAM BERPARIT

Menurut sumber tempatan makam berparit merupakan pemakaman Putri yang bergelar Putri api namun sumber Tulisan tidak ada yang dapat membuktikan kebenarannya sehingga tidak bisa dimasukkan kedalam refrensi penelitian, menurut hasil penelitia DPPSHR tahun 2007 kami percayai ini juga merupakan sebuah benteng pertahanan yang digunakan sebagai Banker karena disini dapat ditemui sebuah parit yang dibuat mengarah kesungai galang diperkirakan parit ini untuk melarikan diri, didalam komplek ini hanya terdapat 3 makam saja yang masih dapat kita lihat nisannya, lokasi pemakamannya lebih kurang 15 Meter Persegi di kelilingi parit sebesar 2 Meter dengan kedalaman 2.5 Meter Menurut sumber lain lokasi ini adalah tempat gelanggang orang beradu pada zaman dahulu. Wallahuaklam..

MAKAM DAENG PERANI




Makam ini terdapat tidak jauh dari makam berparit lebih kurang 20 Meter dari Komplek makam berparit. Diceritakan Oleh Alm.Pak Sarep, penjaga makam sultan sulaiman di Kawasan Kampung Melayu bahwa ini adalah makam Daeng Perani , (masih dalam kajian).


Catatan :

ada dua kemungkinan lokasi makam Daeng Kemboja ini. Satu lagi dapat kita lihat nisan disebelah ini, nisan ini kami temui bersandar di pohon didekat lokasi makam daeng celak, sungai carang, nisan dengan tinggai sekitar hamper 2 meter ini Menurut orang tua-tua yang dapat dipercaya, bahwa nisan ini satunya lagi telah dipikul orang, karena diatasnya terdapat berlian. Merujuk pada apa yang pernah disampaikan oleh aswandi sejarawan kepri bahwa nisan daeng kemboja terdapat berlian dan makam tersebut berada di Riau, jika dikaitkan pada keterangan tersebut kemungkinan inilah nisan makam daeng kemboja karena menurut orang-orang tua yang dapat dipercaya bahwa “nisan ini dulu pasangannya ada Intan karena pada tahun 60-70 an maraknya pencurian dan perusakan situs cagar budaya dihulu riau (Pencarian Harta Karun) karena susah di lepas maka nisan pasangannya di bawa”. Wallahuaklam



ISTANA KOTA PIRING

PULAU BIRAM DEWA; apa yang ada difikiran kita? Saat nama ini kita dengar atau baca, Biram Dewa adalah nama seekor gajah Pemberian Raja Siam atau Thailand sekarang yang dihadiahkan untuk Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I, sesuai kemajuan pulau ini pun berubah-ubah fungsinya, pernah juga dijadikan tempat penyimpanan Obat Bedil. Dan setelah Raja haji Fisabilillah menjadi yang dipertuan muda, ia mendirikan sebuah Istana dipulau ini, yang terkenal dengan Istana Kota Piring, menurut cerita Istana Ini diseputaran pagarnya berhiaskan piring-piring keramik yang cantik-cantik, memang pada masa kejayaan kemaharajaan Melayu Riau-johor dan Pahang banyak kapal-kapal dagang cina membawa piring dan barang pecah belah dari keramik sisa-sisanya masih dapat kita saksikan hari ini di bibir-bibir pantai seputaran kota rebah banyak sekali terdapat pecahan-pecahan piring dan keramik-keramik dari cina.
Dikisahkan lagi disalah satu sudut istana inilah tempat di tambatnya perahu Raja Haji Fisabillilah yang terkenal dengan sebutan Bulang Linggi yang dinakhodai Oleh Nakhoda Malim, maka banyak persepsi-persepsi sejarah yang selalu mengait-ngaitkan sebutan Malim Dewa. Dari penjelasan Warga Tanjung Unggat yang memang sering berulang-alik dulunya kekota piring, “disaat tahun 70-80 an, masih dapat kita lihat dinding dilokasi kota piring ini cantik sekali dan masih terlihat sangat utuh tidak seperti hari ini, dulu disini tak ada yang tinggal, jadi tidak ada yang merusak tembok-tembok Istana ini”. Dari penelitian Tim dari Melayu Online dari Jogja mereka tidak mempercayai bahwa adanya Piring yang ditatahkan diseputaran tembok Istana ini, saat kami meminta keterangan dari warga Tanjung Unggat tersebut ia menerangkan “Bahwa memang benar dulu tembok disini cantik, karma banyak piring yang ditempel-tempel di temboknya, tapi tidak tau sekarang bisa sehancur ini”. Inilah salah satu hal lagi yang tragis terjadi pada Situs-situs yang ada di kota tanjungpinang ini, melihat dari latar belakang sejarahnya yang begitu besar tiidak ada Proses konservasi yang tepat dilakukan Oleh Pemerintah setempat, padahal situs ini sudah dari dulu diketahui Oleh Masyarakat dan Pemerintah, bahkan salah satu Kelurahan di Tanjungpinang ini menggunakan Nama Kota Piring. Dan sekarang bentuk asli kota piringpun terancam hancur, karma sungai yang memisahkan kota piring dan tanjungpinang, telah ditimbun dengan tanah, sehingga yang dulunya kalau mau kekota piring harus menggunakan sampan sekarang sudah bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.

bersambung kepeninggalan Lingga

1 komentar: