Rabu, 12 Januari 2011

LINGGA

Sebuah Kata Pengantar




Al-hamdu li’llahi’ladzi la ilaha illa huwa, wa kana fi’l-azali wa la shay’a ma’ahu. Segala puji-pujian bagi Allah tuhan yang tiada tuhan selain ia, dan adalah ia pada azal, tiada seseatupun jua sertanya.
Dengan izin Allah kami susun buku ini, dengan niat yang tulus dan iklas serta kekuatan iman kiranya tak terganggu syaitan, sehingga, kekesatan masa lalu tak pernah terulang lagi, kami sifatrnya hanya ingin menegaskan bahwa pengerjaan baik pulih budaya dan sejarah melayu bukanlah hal yang susah atau sengaje disusah-susahkan, tetapi bukan pula kami hendak menyenang-nyenangkan, selama kita masih bersama mau berfikir sama-sama tidak ada yang tidak bisa, selama ini pihak-pihak terkait banyak tidak mau berunding dengan masyarakat, berfikir bersama, mencari mufakat membuat kegiatan bersama untuk kemajuan bersama. Seperti Layaknya Lembaga-lembaga adat yang Merupakan adat daerah kebanggaan kita ini Maju Kehadapan menjadi teraju atau menjadi Pemimpin Kepada Para saudara-saudara Kita sesame Melayu. Kami melihat dari sudut pandang kami selaku Bagian dari masyarakat, kebudayaan hanya dijadikan Object Project untuk kepentingan sesaat, kegiatan yang berbau Seremonial sahaja yang terkembangkan yang mencerminkan melayu dalam sifat musiman bukan implementasi ke masyarakat tentang pencitraan jati diri Melayu itu sendiri. Sejarah yang merupakan sebuah kebanggaan masa silam Masyarakat Melayu Kepulauan Riau kini perlahan-lahan tergerus kemajuan zaman, tempat-tempat rekreasi lebih laku dikunjungi dari pada Situs-situs Cagar Budaya peninggalan Kemaharajaan Melayu, membaca komik lebih Asyik dari pada melihat buku sejarah melayu, itulah yang mengiriskan terjadi di Kabupaten Lingga, Pulau yang memiliki Bukit-bukit yang banyak layak disebut Negeri Seratus Bukit ini memiliki Sejarah dan Peninggalannya yang cukup membanggakan. Terutama Masyarakat Melayunya. Yang hidup dalam kebudayaan melayu yang masih sangat tinggi, Kolot/Kampungan atau apelah namanya yang penting Mereka adalah Melayu yang Menjaga Adat Resam-nya Menjunjung Tinggi Budayanya. Orang Sampan/Suku Laut pun masih ramai di kabupaten ini. Kekayaan Alam yang Melimpah, Sejarah yang Tinggi, Masyarakat yang berbudaya Adalah Warisan Sultan Kemaharajaan Melayu terhadap Bumi ini.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,

Daek Lingga, 2010
Pengusaha,








REFRENSI
LINGGA

Gunung Daek
Mari kita menuju Lingga pulau yang menawarkan dimensi alam kurun ke - 19, bilamana Daik Lingga pertama kali menjadi pusat pemerintahan Sultan Mahmud Syah III sultan Johor-Riau Pahang dan Lingga. Sultan memerintah di Daik, Pulau Lingga dari tahun 1792 hingga 1812. Sebelum itu baginda memangku jawatan Sultan dari tahun 1761 dan bertakhta di Hulu Riau-Tanjungpinang.
Menurut sejarah, Raja Mahmud masih berusia 8 Bulan ketika dinobatkan sebagai Sultan menggantikan Sultan Ahmad Riayat Shah ( bergelar Marhum Tengah abang kandungnya yang mangkat tahun 1761 baru sekitar 6 bulan menjabat sultan ketika berusia 9 tahun, membuka Kampung Bulang sebagai Tempat Persemayamannya menurut cerita ia Mangkat karena diracun ), dengan gelaran Sultan Mahmud Shah III. Yamtuan Muda Daeng Kemboja membuat perlantikan dengan meriba Raja Mahmud.
Semasa perlantikan, Daeng Kemboja berucap yang maksudnya, "Barang diketahui kiranya oleh suku - suku sebelah Melayu dan Bugis, bahawa sesungguhnya Raja Mahmud inilah Raja Johor dan segala daerah takluknya yang dilantik oleh Bugis sebagaimana
melantik nendanya Sultan Sulaiman, iapun demikian jualah. Maka barang siapa yang tiada mematuhi aturan ini, maka pada hari dan waktu inilah kita berhabis - habisan ."
Daeng Kemboja menghunus pedangnya. Dan tidak ada seorang pun yang hadir berani membantah keinginan Daeng Kemboja. Lalu Raja Mahmud pun dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar atau Sultan Johor - Riau - Lingga - Pahang. Oleh karena baginda masih bayi maka pemerintahannya dipangku oleh Yamtuan Muda Daeng Kemboja dengan dibantu oleh penolongnya Raja Haji.
Daeng Kemboja menunjukkan kekuatan melantik Raja Mahmud sebagai Sultan kerana wujudnya perebutan kuasa antara pembesar Bugis dengan pembesar Melayu. Pembesar Melayu mahukan salah seorang daripada saudara - saudara Al Marhum Sultan Abdul Jalil ( Raja di Baroh ), sama ada Tengku Abdul Kadir atau Tengku Buang, dilantik Sultan. Sedangkan pembesar Bugis yang dipimpin Yamtuan Muda Daeng Kemboja mahukan adinda Al Marhum Sultan Ahmad Riayat Shah yang baru mangkat, iaitu Raja Mahmud.
Semasa pemerintahan Sultan Mahmud keadaan daerah takluk Baginda di Riau-Johor-Lingga-Pahang tidak aman kerana masalah perebutan kuasa antara puak Melayu dan Bugis berterusan. Pergolakan politik yang hebat berlaku yang melibatkan pihak Belanda. Dalam satu pertempuran antara Belanda dengan angkatan lanun dari Tempasok, Sultan Mahmud pura - pura membantu Belanda tetapi meriam yang digunakan untuk menyerang lanun tidak berpeluru. Akhirnya Belanda menyerah kalah di Tanjung Pinang dan terpaksa meninggalkan Tanjung Pinang tanpa membawa satu barang pun kembali ke Melaka.
Oleh kerana khuatir Belanda datang semula untuk menyerang balas, maka Sultan Mahmud beserta pembesar - pembesar baginda berangkat meninggalkan Riau ( Ulu Riau-Tanjung Pinang ) menuju Pulau Lingga ( Daik ). Baginda menitahkan agar pusat pemerintahan baru dibangunkan di tempat baru ini. Sejumlah 200 perahu mengiringi Baginda ke Pulau Lingga. Sementara itu Bendahara Abdul Majid yang ketika itu berada di Riau ( Tanjung Pinang ) bertolak meninggalkan tempat itu bersama 150 buah perahu, pulang ke Pahang.
Setelah itu ramailah orang - orang Melayu meninggalkan Riau menuju Bulang, Selangor, Terengganu, Kalimantan dan pulau - pulau lain di daerah Riau.
Yang tinggal di Riau Engku Muda Muhamad putra Tumenggung Abdul Jamal dari Pulau Bulang (Batam) sebagai Wakil Sultan di Riau, semasa itulah jabatan yang Dipertuan Muda tidak digunakan lagi karena selaku pemegang jabatan Yang Dipertua Muda yaitu dari keturunan bugis Raja Ali Ibni Daeng Kemboja dan Raja Hamidah bergelar Engku Putri Ibni Raja Haji Fisabbilillah melarikan diri ke Sukadana. Masa itulah Engku Muda Muhammad memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menghapuskan Campur tangan Bugis dalam pentakbiran Kerajaan Riau Johor dan Pahang dengan menyusun kekuatan Melayu, pada saat itu Engku Muda Muhamad mendapatkan dukungan Penuh dari Pembesar-pembesar Kerajaan dari Keturunan Melayu dan Armada Tentara dari Pihak Suku Laut yang merupakan Armada Tentara Kerajaan Melayu sejakSriwijaya Bintan-Tumasek-Malaka dan Johor. Pada masa ini Engku Muda Muhammad membuka Kawasan Tanjung Unggat sebagai perkampungan Panglima-panglima Perang (tahun 1792) serta Armada Tentara, Pulau Bayan sebagai Benteng Pertahanan dan Kampung Tambak sebagai kediamannya. serta orang - orang Cina yang bekerja di ladang gambir dan lada hitam. Kebanyakan ladang yang ditinggalkan oleh tuan punya yang terdiri dari pada orang Melayu dan Bugis diambil alih oleh orang - orang Cina. Sejak itu semakin ramailah orang Cina tinggal di pulau itu.
Tidak lama kemudian orang Belanda datang semula ke Tanjung Pinang untuk memperkuatkan semula pertahanan mereka. Kompeni Belanda menempatkan 312 orang tenteranya. Belanda berpendapat jika mereka tidak menguasai Riau ( Tanjung Pinang ) Kedudukan mereka akan terancam, tambahan pula ketika itu Inggeris telah membuka Pulau Pinang.
Pada tahun 1795 Belanda telah mengembalikan semula semua wilayah takluk Sultan Mahmud seperti Riau, Johor dan Pahang kepada Baginda. Lalu Pihak Bugis yang saat itu di Pimpin Raja Ali Ibni Daeng Kemboja kembali ke Riau menuntut di kembalikannya Jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Johor-Lingga dan Pahang kepada Pihak Bugis, tak terima dengan permiintaan Pihak Bugis pihak Melayu yang dipimpin Oleh Engku Muda Muhamad Ibni Tumenggung Abdul Jamal melakukan penentangan sehingga tak terhindarkan perang saudara terbesar Selama Perjalan Sejarah Kerajaan Riau-Johor-Lingga dan Pahang, akhirnya Engku Muda Muhammad dari Pihak Melayu tak dapat mempertahankan Riau lalu kembali Ke Pulau Bulang. Setalah itu Raja Ali membangun Tempat tinggalnya beserta Engku Putri di Tanjung Unggat. Setelah itu Sultan Mahmud ke Riau menemui Raja Ali mencoba mendamaikan Perseteruan antara dua saudara tersebut karena Raja Ali adalah Putra Daeng Kemboja sedangkan Engku Muda Muhammad adalah Putra Daeng Maimunah adik perempuan Daeng Kemboja yang menikah dengan Tumenggung abdul Jamal Tumenggung Johor di Pulau Bulang. Lalu lah Sultan Machmud beserta Raja Ali kepulau Bulang menemui Engku Muda Muhammad untuk mendamaikan kedua saudara yang merasa berbeda suku tersebut, setelah berdamai Sultan Machmud menawarkan Engku Muda Muhamad menggantikan Ayahandanya Tumenggung Abdul Jamal sebagai Tumenggung Johor namun Engku Muda Muhammad Menolaknya dan ia menggelar dirinya Engku Muda Muhammad Bekas Sultan dari Riau dan Bintan, malah ia menyuruh saudara sepupunya Daeng Ibrahim yang menjadi Tumenggong Johor. Setelah itu lalu lah Sultan Machmud kembali ke Riau mengembalikan jabatan Yang Dipertuan Muda Riau-Johor Lingga dan Pahang kepada Raja Ali Ibni Daeng Kemboja. Pada tahun 1803 setelah persengketaan Antara Melayu dan Bugis selesai sebagai tanda Perkuatan persatuan Melayu dan Bugis yang menyatu dalam darah sehingga tak dapat dibedakan lagi, Sultan Mahmud berkahwin dengan Raja Hamidah atau Engku Puteri anak Al Marhum Raja Haji (Dinilai sebagai Pernikahan Politik karena Engku Putri selaku pemegang Regalia Kebesaran Kemaharajaan Riau-Johor-Lingga dan Pahang). Lalu membangun Istana Di Tanjung Unggat untuk Engku Putri sedangkan Raja Ali membangun Kubu di Pulau Bayan. Baru Tahun 1808 setelah Belanda semakin menguat kembali di Riau dengan Mengambil Alih Kubu Pulau Bayan untuk dijadikan kantor Belanda dan Tanjung Unggat sebagai Pos-pos. Pulau Penyengat yang berhampiran Pulau Bintan dijadikan emas kahwinnya. Pulau ini diperindah dan digelar Pulau Penyengat Indera Mulia. Baginda menyerahkan pulau itu kepada Raja Hamidah sebagai hakmilik peribadinya sementara Pulau Lingga diserahkan hakmiliknya kepada putera baginda bernama Tengku Abdul Rahman yang baginda panggil Si Komeng.
Sultan Mahmud tetap bersemayam di Lingga dan mangkat pada 12 Januari 1812, setelah bertakhta selama 50 tahun. Baginda digantikan oleh Tengku Abdul Rahman.

Semasa menjadi Sultan Riau - Johor - Lingga - Pahang, Sultan Mahmud mempunyai beberapa orang isteri. Sultan beristerikan anak Bendahara Abdul Majid di Pahang. Isteri ini mangkat pada tahun 1803 tanpa beroleh anak. Seorang lagi isteri baginda bernama Cik Makuh, anak pembesar Bugis Daeng Maturang, yang juga dikenali dengan nama Encik Jaafar. Dari perkawinan ini lahir seorang putera bernama Tengku Hussain atau Tengku Long. Seorang lagi isteri baginda bernama Cik Mariam anak pembesar Bugis bernama Bandar Hassan. Mereka beroleh seorang putera bernama Tengku Abdul Rahman ( Raja Jumaat atau Si Komeng ). Isteri baginda seorang lagi ialah Raja Hamidah atau Engku Puteri anak Raja Haji ( Marhum Teluk Ketapang ). Mereka mempunyai cahaya mata perempuan tetapi meninggal dunia tidak lama setelah dilahirkan.

Sultan Mahmud membuka Lingga dan menjadikannya pusat pemerintahan Riau-Johor-Lingga-Pahang. Namun akhirnya dengan campur tangan penjajah dan musuh-musuh politik dalaman maka akhirnya pusat kesultanan di Lingga mengecil untuk hanya berkuasa di Riau-Lingga sahaja di bawah naungan kuasa Belanda, manakala Johor-Pahang bernaung pula di bawah kuasa Inggeris.

Peninggalan sejarah di Lingga tetap meredum kerinduan kepada sejarah gemilang kesultanan silam sejak Sultan Mahmud membuka negeri. Peserta rombongan akan melihat masjid peninggalan yang didirikan oleh Sultan Mahmud pada tahun 1801. Menurut cerita, masjid ini pernah dipindahkan ke Pahang, tetapi cuma digunakan untuk sekali sembahyang Jumaat. Setelah itu masjid dipindahkan semula ke Lingga. Keistimewaannya, masjid ini tidak menggunakan tiang tengah.
Lain - lain tapak bersejarah yang bakal dikunjungi nanti ialah Benteng Bukit Cening, Makam Raja - Raja di Bukit Cengkeh, Makam Merah dan permandian Puteri Lubuk Pelawan.
Dan semestinya akan ada yang mahu melihat apakah Gunung Daik yang dikatakan bercabang tiga seperti dalam lirik pantun popular itu betul - betul mempunyai tiga cabang!














ISTANA DAMNAH

Gam. Lokasi Istana Damnah

Damnah dalam Artian adalah yang mula-mula ada. Jadi Istana Damnah adalah Istana yang mula-mula ada. Yang tersisa dari bangunan yang dahulunya sangat megah ini hanyalah tangga muka, tiang-tiang dari sebahagian tembok pagarnya yang seluruhnya terbuat dari beton. Sekarang puing istana ini terletak dalam hutan belantara yang disebut kampung Damnah.
Istana Damnah didirikan oleh Raja Muhammad Yusuf AI-Ahmadi, Yang Dipertuan Muda Riau X (1857-1899). Dalam tahun 1860 olehnya didirikan istana Damnah untuk kediaman Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II, dimana sebelumnya Sultan ini di Istana Kota Baru tak berjauhan dari pabrik sagu yang didirikannya.
Istana Damnah didirikan Oleh Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi dengan tujuan sebagai lambang Jejak dan Jati diri Melayu Riau-Lingga yang merupakan kerajaan Melayu yang mula-mula berperadapan Tinggi, maka di ambillah nama Damnah itu sendiri yang sebelumnya nama Damnah juga digunakan pada Istana Kerajaan Melayu Tua, guna menguatkan sebutan Bunda Tanah Melayu.
PERLINDUNGAN terhadap Situs istana damnah Adalah salah satu perlindungan dan perawatan situs yang paling baik dibandingkan dengan situs-situs lain di Kab.lingga, mengingat telah didirikannya sebuah duplikat dari istana tersebut. Namun perlindungan terhadap Situs asli Istana damnah belumlah Optimal dan Menjamin keutuhan situs, mengingat kelembapan tektur tanah lokasi situs bisa perdampak pada Kerapuhan kontruksi Material situs itu sendiri, maka perlu disusun langkah-langkah Perawatan berkala terhadap situs tersebut, Apalagi tidak tersedianya jalan yang dibuat Khusus Untuk melewati situs, sehingga pengunjung harus menginjak bagian puing-puing situs, berdampak rusaknya material situs yang notabennya telah rapuh. Sebagai tahap awal pencegahan kerusakan situs lebih meluas maka perlu dibuat jalan khusus melewati situs yang tidak terkena pada salah satu tapak situs Istana tersebut ( Pengembangan Tahapan akan dirumuskan kemudian setelah Kegiatan Observasi selesai ).












GEDUNG BILIK 44

Yang disebut gedung bilik 44 adalah pondasi gedung yang akan dibangun oleh Sultan Mahmud Muzafar Syah. Gedung ini baru dikerjakan pondasinya saja karena Sultan keburu dipecat Belanda tahun 1812. Lokasinya terletak di lereng gunung Daik.
Walaupun gedung ini belum sempat berdiri, tetapi dari pondasinya yang berjumlah 44 itu sudah dapat kita bayangkan betapa besarnya minat Sultan Mahmud untuk membangun negerinya. Di gedung ini, menurut rencana Sultan akan ditempatkan para pengrajin yang ada di kerajaan Riau-Lingga, supaya mereka dapat bekerja lebih tenang serta mengembangkan keahliannya. Namun cita-cita Sultan Mahmud terkandas oleh penjajah asing.


BUKIT CENING / BUKIT LARANGAN

GAM. MERIAM BUKIT CENING


BUKIT CENING dalam artian Adalah Bukit Larangan. Bukit cening pada masa lampau disebut bukit Cening karena merupakan suatu Benteng Pertahanan yang tidak boleh dimasuki oleh masyarakat Awam maka ianya disebut Bukit Larangan/Terlarang (Cenning). Daik sebagai pusat kerajaan Riau-Lingga tentulah memerlukan pengawalan ketat. Perairan selat Malaka yang masa silam selalu ramai dengan desingan peluru dan asap mesiu. Untuk menjaga berbagai kemungkinan dalam pertempuran.
Kondisi bukit cening di Lingga sangat menggiriskan, kondisi kontruksi bukit sudah tidak utuh lagi karena pada bagian dasar bukit sudah dikeruk oleh pihak-pihak tertentu yang mengklaim memiliki lahan tersebut untuk dijual tanahnya kepada Masyarakat. Dan pada pemantauan kami terdapat tempat pengolahan aspal dilokasi dasar bukit tersebut yang menurut masyarakat adalah Milik Pengusaha dari tanjungpinang yang bernama SIMEN, dan telah terjadi proses pengerukan terhadap dasar situs Bukit cening. Ini adalah aksi-aksi perusakan Benda Cagar Budaya yang harus segera ditangani dengan Arif oleh Pemerintah setempat, jika aktivitas seperti ini terus dilakukan tidak menutup kemungkinan Longsor atau penghakisan dasar bukit akan terjadi yang berakibat Situs bukit Cening akan hancur. Dan Pada perawatan Meriam yang ada di lokasi tersebut, meriam sengaja ditelantarkan dan tidak ada tanda-tanda dilakukan perawatan khusus terhadap meriam yang notabennya telah berumur ratusan tahun, sehingga proses pengkaratan pada dasar lapisan meriam dapat kita lihat sangat parah. ( diharapkan setelah Kegiatan Observasi selesai dapat dirumuskan Pola perawatan berkala terhadap Meriam tersebut ).

MASJID SULTAN ABDURRAHMAN MUAZAM SYAH


GAM. SITUS MASJID SULTAN ABDURRAHMAN MUAZAM SYAH



MASJID SULTAN ABDURRAHMAN MUAZAM SYAH diperkirakan didirikan Pada masa Akhir Tahun 1900-san. Kondisi situs ini adalah salah satu kondisi bangunan tua yang paling menggiriskan, selain bangunan yang hanyalah puing-puing, lokasi situs ini penuh semak belukar, sebagai penanda lokasi situs hanya ditandai dengan Papan Plank yang sangat sederhana. Ditambah lagi situs ini sekarang berada dibelakang salah satu Rumah warga. Disini dapat dilihat bahwa Pemerintah Kabupaten Lingga selama ini tidak pernah mengurus Situs ini. Padahal jika dikaji kembali situs ini merupakan salah satu Arsitektur yang paling digemari Kerabat Kerajaan diakhir tahun 18-san. Sebagai bukti kebesaran tamadun melayu.













MAKAM MERAH


Gam. Raja Muhamad Yusuf al-ahmadi

GAM. MAKAM MERAH/ MAKAM RAJA MUHAMAD YUSUF AL-AHMADI
YANGDIPERTUAN MUDA RIAU-LINGGA KE-X

Ia biasa disebut masyarakat sekitar dengan makam merah karena warna cat bangunannya berwarna merah, tiang dan pagarnya terbuat dari besi bermotif yang langsung didatangkan dari Belanda, dan atapnya seng tebal. Makam ini tidak berdinding dan atapnya berbentuk segi empat melingkari makam seperti Gazebo. Makam ini letaknya sekitar ± 100 m dari Situs istana Damnah.
Makam ini terkenal bukanlah karena bangunan makamnya, tetapi karena yang dimakamkan disini adalah Raja Muhammad Yusuf Yang Dipertuan Muda Riau X.

RAJA MUHAMAD YUSUF AL-AHMADI

Raja Muhamad Yusuf merupakan Yang Dipertuan muda Riau-Lingga terakhir, suami dari pada Tengku Embong Fatimah putri Sultan ia merupakan ayah dari Sultan Abdurrahman Muazamsyah (Sultan Raiu-Lingga terakhir). Pada masa pemerintahannya adalah masa-masa transisi karma segala kuasa kerajaan Raiu-Lingga sebagian besar telah dikuasai belanda, pada dasarnya memang pihak belanda kurang menyukai Raja Muhammad Yusuf. Semasa beliau mangkat belandapun tidak segera melantik Yang Dipertuan Muda yang baru, dan bahkan belanda memperkuat Posisinya dengan menawarkan perjanjian baru kepada Sultan Abdurrahman, bahwa Pemerintah Belanda menjadikan Sultan dan Pegawai-pegawai kerajaan Riau-Lingga dijadikan pegawai biasa Keresidenan belanda. Sultan Menolak dan akhirnya melarikan diri kesingapura dengan menitahkan kepada segenap penduduk Negeri Riau Lingga untuk menghancurkan segala benda kerajaan Riau-Lingga yang masih ada, termasuk Bangunan-bangunan Istana. Maka hari ini walaupun belum seratus tahun kerajaan Riau-lingga di Hapuskan bukti-bukti kebesarannya tidak dapat kita saksikan secar utuh lagi.



















MAKAM-MAKAM TUA


GAM. KOMPLEK PEMAKAMAN LAMA YANG BERSERAKAN DI LINGGA


Dilingga banyak sekali terdapat komplek-komplek pemakaman Tua, yang telah berusia diatas Seratus Tahun. Namun karena kurangnya penghargaan terhadap situs-situs tersebut membuat Komplek-komplek pemakaman tersebut tak kurang layaknya seperti Perkuburan Masyarakat Biasa, padahal kalau dikaji lebih dalam, kemungkinan makam-makam tersebut adalah makam-makam para syuhada Melayu. Untuk itu program pembersihan dan perawatan komplek-komplek pemakaman lama harus dijadikan Program Pemkab lingga, sebagai salah satu Objek Wisata religi yang utama di kabupaten lingga, selain masjid sultan.












MASJID SULTAN


GAM/ MASJID SULTAN LINGGA



masjid peninggalan yang didirikan oleh Sultan Mahmud pada tahun 1801. Menurut cerita, masjid ini pernah dipindahkan ke Pahang, tetapi cuma digunakan untuk sekali sembahyang Jumaat. Setelah itu masjid dipindahkan semula ke Lingga. Keistimewaannya, masjid ini tidak menggunakan tiang tengah.
Disini juga terdapat Makam Sultan Mahmud III Baginda Lingga Atau Marhum Masjid, berada. Seperti yang kita ketahui bahwa Sultan Mahmud III adalah Sultan Lingga-Riau Johor dan Pahang, pada masa pemerintahannyalah Pusat Pentakbiran Negeri Riau-Lingga-Johor dan Pahang dipindahkan Dari Hulu Riau-Tanjungpinang Ke Lingga, sedangkan di Riau di tempatkan Perwakilan Sultan Yaitu engku muda muhamad berkedudukan di Tanjung unggat, lalu setelah Raja Ali Marhum Pulau Bayan bin Daeng Kemboja Menjadi Yang Dipertuan Muda Riau-johor dan Pahang yang ke-V ianya juga berkedudukan di Tanjung unggat dan Pulau Bayan sebagai Istana Yang dipertuan Muda kemudian Raja Jafar Bin Raja Haji Fisabbillillah sebagai yang dipertuan Muda Ke VI menggantikan Raja Ali berkedudukan dipulau Penyengat dimana penyengat adalah sebagai mahar Pernikahan antara Sulatan Machmud dengan Engku Putri Binti Raja Haji Fisabbillillah yang merupakan Kakak kandung Raja Jafar maka Istana Yang dipertuan Muda Menetaplah Di Pulau Penyengat sampai Akhirnya pada Tahun 1911 Sultan Abdurrahman Melarikan diri kesingapura lalu memerintahkan kepada Rakyat Riau dipulau penyengat untuk membakar dan menghancurkan setiap bangunan istana yang ada di pulau penyengat, karena itu belum 100 Tahun kemaharajaan Melayu di Makzulkan namun Situs-situs Istana di Riau telah hancur. sedangkan Sultan atau Yang Dipertuan Besar tetap Menetap di Lingga.

MAKAM SULTAN MACHMUD SHAH III BAGINDA LINGGA


Makam Sultan Mahmud Riayat Shah di Daik

Sultan Mahmud Riayat Syah III dimakamkan di belakang Masjid Sultan Lingga jalan Masjid Sultan Lingga Daik Lingga, dan diberi gelar “Marhum Masjid”. Almarhum Baginda Sultan Mahmudsyah III (1761-1812) diketahui sebagai sultan Johor–Pahang–Riau Lingga XVI yang memindahkan pusat kerajaan melayu dari Hulu Riau ke Daik Lingga pada tahun 1787.





Nisannya Terbuat dari Kayu

Sultan yang beristrikan Raja Hamidah (Engku Puteri) yang menikah di Tanjung Unggat (Riau) dengan maskawin Pulau Penyengat Indra Mulia juga diketahui membangun Masjid Sultan Lingga, salah satu situs sejarah terkenal di Lingga.



KOMPLEK PEMAKAMAN SULTAN
BUKIT CENGKEH

Pagar yang masih Asli di Komplek Pemakaman Bukit Cengkeh

Terletak di Bukit Cengkeh, Jl. Sultan Abdurrahman, berjarak sekitar 25 meter sebelah barat aliran Sungai Tanda. Pintu gerbangnya terbuat dari besi berukuran tinggi sekitar 2 meter dan terletak di sisi tenggara. Di bagian tengah kompleks makam terdapat bangunan berdenah persegi delapan (oktagonal) yang merupakan cungkup makam Sultan Muhammad Syah. Ada 3 (tiga) Sultan yang dimakamkan di Bukit Cengkeh, yaitu:
1. Sultan Abdurrahman Syah
Putra Sultan Mahmudsyah III ini merupakan Sultan Johor–Pahang–Riau Lingga XVII (1812-1824) dan Sultan Lingga Riau yang pertama (1824-1832). Mangkat di Daik Lingga pada malam Senin 12 Rabiul Awal 1240 H (1832 M) dan bergelar “Marhum Bukit Cengkeh” . Selain dikenal sangat alim dan giat menyebarkan agama Islam, Sultan juga membangun benteng Kuala Daik, Benteng di Bukit Cening dan Benteng di Pulau Mepar.

2. Sultan Muhammad Syah II

Sultan Lingga Riau yang ke-dua ini memerintah dari tahun 1832-1841. Selain membangun Bilik 44 dan Istana Kedaton (Keraton), Baginda Sultan dikenal mencintai bidang seni, seperti seni ukir, tenun dan kerajinan. Mangkat di Daik Lingga pada tanggal 9 Januari 1841 dan diberi digelar “Marhum Kedaton/Keraton”.
3. Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II

Putra ke-dua Sultan Abdurrahmansyah atau adik dari Sultan Muhammadsyah diangkat menjadi Sultan Lingga Riau IV di Daik (1857-1883). Mangkat pada tahun 1883 dan dimakamkan di Bukit Cengkeh. Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah II dikenal sebagai Sultan yang sangat memperhatikan perekonomian rakyat dan kerajaan seperti menggalakkan penanaman sagu dan gambir, memperkenalkan industri sagu, membangun sarana transportasi seperti kapal Sri Lanjut, Betara Bayu, Lelarum, dan Gempita, mengembangkan penambangan timah di Singkep dan membangun sekolah (kini SD Negeri 001 Daik) yang dibangun pada tahun 1875, serta membangun Istana Damnah (1860). Pada masa ini Lingga mengalami perkembangan perdagangan yang sangat pesat dan jumlah penduduk dari berbagai etnis yang bertempat tinggal di Daik saja mencapai ± 20.000 jiwa.



























ISTANA ROBAT




Papan Plang Penanda Lokasi Situs



Sisa Tapak Istana

Istana Robat merupakan Istana Sultan Abdulrahman Muazam Shah (sultan Riau-Lingga terakhir, bentuknya mirip dengan Istana Kedaton di Pulau Penyengat dan Kantor Residen Belanda di Tanjungpinang (Gedung Daerah sekarang), Namun dapat dipastikan bahwa bangunan ini dulunya sangat mewah, dapat dilihat dari sisa-sisa interior bangunan, pilar-pilar lubang angin yang terbuat dari keramik atap yang digunakan jenis genteng. Dan dipagari dengan pagar yang cukup tinggi memagari area istana yang cukup luas.



Sisa reruntuhan Pagar Istana Kedaton





Rumah Datuk Laksemana Daik
Foto : Tidak Dapat ditampilkan
Bangunan tua ini terletak di kampung Bugis, berbentuk limas penuh. Rumah ini selain pernah ditempati oleh Datuk Laksemana Daik,pernah pula ditempati oleh Datuk Kaya pulau Mepar, karena beliau ini menantu Datuk Laksemana. Rumah ini masih agak baik dan ditempati oleh keluarga Datuk Laksemana dan Datuk Kaya Daik.
Di rumah ini masih tersimpan sisa-sisa benda milik Datuk Laksemana dan Datuk Kaya, seperti : beberapa jenis pakatan kebesaran Datuk Kaya dan Datuk Laksemana, benda-benda upacara adat, motifmotif tenunan, batik, ukiran-ukiran dan sebagainya.
Yang di atas itu adalah Daik dari sisi sejarah, selanjutnya adalah bagian budaya, wisata alam, dan sebaginya












RUMAH KEDIAMAN TAMBI ABDURAHMAN



Tampak dari depan


Accesoris Penghias Pintu

Tambi Abdulrahman merupakan Pengusaha keturunan Keling yang merupakan pengusaha yang dekat dengan Sultan Abdulrahman Muazam Shah. Letaknya tepat berada di Pusat Pasar Lingga (Kampong Cine).
BENTENG KUALA DAEK
Benteng Batu



Benteng batu Kuala daek



Empat Buah Meriam Yang masih Utuh Hingga Kini dan Tak berubah Posisi
Terletak di tepi muara Sungai Daik, sekitar 2 km dari Kampung Cina. Untuk mencapai lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan sampan. Masyarakat menyebut tempat ini sebagai Tanjung Meriam, karena menurut informasi, di tempat tersebut dulu banyak ditemukan meriam. Sisa bangunan yang ada saat ini hanyalah susunan batu yang menjorok ke laut. Keletakan benteng ini sangat strategis, yaitu berada di pintu masuk ke pusat kota yang dapat dilalui dengan menggunakan kapal. Kerusakan benteng tersebut kemungkinan akibat gerusan air laut yang semakin tinggi pada saat pasang, akibat pengendapan Lumpur pada muara Sungai Daik.

Benteng Parit




Benteng Parit Kuala Daek



Tak Kurang Ada 17 Meriam yang masih tersisa

Benteng ini tepat berada di muka sungai daek, yang digolongkan juga sebagai Benteng tanah. Ini merupakan pertahanan kedua setelah benteng kuala daek, karena letaknya sangat berdekatan, kedua benteng di Kuala daek ini adalah satu-satunya benteng yang Paling Sempurna dan Masih Tersisa hampir Utuh di Kepulauan Riau.












RUMAH TENGKU MUHAMAD SALEH



Kediaman Tengku Muhamad Saleh tempo Dulu



Tengku Muhamad Saleh merupakan keturunan dari Sultan Mahmud Muzafar Shah. Dahulu kediamannya berada di Kawasan Istana Damnah. Kini kediaman Tengku Muhammad Saleh oleh keluarganya dipindahkan di Dekat Masjid Sultan Lingga. Sekarang dirumah beliau yang diwarisi Oleh Tengku Saodah (yang akrab di sapa Mak Engku) putri Almarhum, banyak terdapat Naskah-naskah yang pada umumnya berisi Ilmu-ilmu Agama Islam, karena dahulunya Tengku Muhamad Saleh terkenal sebagai Pengajar Agama Islam. Ia juga selaku pewaris dari situs-situs peninggalan kerajaan Lingga





Manuskrib makam terbuat dari Kayu

Kayu-kayu Ukiran motif melayu yang dulunya menghiasi Makam di Bukit Cengkeh, kini tersimpan di Rumah Tengku Muhamad Saleh.




BIOGRAFI ORANG PEDULI SEJARAH MELAYU

Nuri C Shiddiq adalah Anak Melayu Kelahiran Tanjung Unggat-Kota Tanjungpinang atau Riau Lama pada Tanggal 9 april 1984. ia merupakan anak Muda yang sangat Peduli Terhadap Peninggalan Sejarah dan Budaya Melayu, nenek moyangnya merupakan pengasas Kampung Tanjung Unggat yang diyakini telah membuka Tanjung Unggat bersama dengan Engku Muda Muhammad yaitu Panglima Alang Yahya. Ia pernah mengenyam Pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu social Politik (Stisipol-Raja Haji Tanjungpinang) sampai semester 8, namun panggilan Masyarakat begitu besar hingga ia harus mengambil keputusan untuk berhenti kuliah.
Dari pengalamannya ber Organisasi, maka ia Mencoba memfokuskan kegiatannya, dengan Mendirikan Dewan Peduli Peninggalan Sejarah Hulu Riau (DPPSHR). Ia tidak mau disebut sebagai Sejarawan atau Budayawan selain Karna Usianya yang masih Muda ia juga tidak mau dikatakan MR.KESEMPATAN yang menjadikan Sejarah dan Budaya Melayu sebagai OBJECK PROYEK, seperti banyak yang dilakukan Sejarawan dan Budayawan Sekarang ini. Ia lebih Suka disebut sebagai Pengamat atau Orang Yang Peduli terhadap Warisan Leluhur Melayu. Pandangannya yang luas sehingga selalu melahirkan Pemikiran-pemikiran yang kritis, hingga ia lebih sering tidak disukai Pemerintah Yang Korup, karna Kritikannya selalu menjadi Lawan atas Kebijakan Pemerintah yang tidak Benar.
Tempat kelahirannya yang merupakan salah satu tempat bersejarah terpenting di Negeri Melayu yang menjadi basis pertahanan Panglima-panglima melayu pada Zaman dahulu dan tempat yang menjadi saksi zaman sewaktu Peperangan antara Bugis dan Melayu sekaligus sebagai tempat penyatuan Hati, Jiwa dan Raga serta politik antara Melayu dan Bugis melalui pernikahan antara Sultan Machmud Shah III dengan Raja Hamidah/Engku Putri. membuat keinginannya melestarikan dan memajukan Sejarah Budaya Melayu begitu kuat.
Keperihatinan dan kegamangannya terhadap Orang Melayu begitu mendalam, sampai tidak ada waktu dalam dirinya tanpa memikirkan kemana Orang Melayu harus dibawa? Kejalan yang terangkah? Atau Kejurang yang dalam, sampai melayu tinggallah cerita. Dari keperihatinan dan Kerisauan tersebutlah ia menyusun dari berbagai sumber hingga terlahirlah beberapa buku diantaranya, Melayu Cerita-cerita Orang (2009), Hulu Riau dan Sisa Peninggalannya (2009), Engku Putri (2010), Mengkaji Pantun (2010), Benteng Tanah di LINGGA (2010), Riau Kota Yang Hilang Dari Tanahnya (2010),Penelitian di Lingga Bunda Tanah Melayu (2010) dan Buku ini . Semoga buku ini dapat memberi Arti tersendiri untuk orang melayu dalam memahami Suatu Asal-usul, sebagai Jawaban dalam menghadapi pertanyaan Zaman.